Kota Jambi – Hiruk pikuk pasar Talang Banjar, Jambi Timur, Kamis 2 Oktober siang itu mendadak berubah. Di tengah ramainya pedagang yang menawarkan dagangan dan para pembeli yang sibuk menawar harga, tiga sosok perempuan yang selama ini dikenal licin akhirnya tersungkur di hadapan massa.
Mereka bukan pedagang, bukan pula pembeli biasa. Tiga emak-emak asal Sumatera Selatan, berinisial A, I, dan R, rupanya sudah lama mengintai, menunggu celah dari lengahnya orang-orang. Modus mereka sederhana namun terencana: berpura-pura membeli bawang, sementara tangan-tangan mereka yang cekatan melancarkan aksi.
Namun langkah mereka terhenti. Mata-mata warga dan rekaman kamera pengintai akhirnya menyingkap rahasia yang selama ini disembunyikan. Ketiganya tak lagi bisa berkelit saat tertangkap basah tengah mencoba mengulangi permainan lama di pasar yang sama.
“Setiap pelaku memiliki peran,” ungkap Kapolsek Jambi Timur, AKP Edi Mardi Siswoyo, sembari menegaskan bahwa komplotan itu bekerja seperti sebuah orkestra kejahatan. A menjadi eksekutor, I si perantara yang menyamarkan gerak, dan R sebagai pengawas yang siap menutup celah. Semuanya berjalan senyap—hingga satu titik, ketika keberanian warga menghentikan mereka.
Catatan kepolisian menyibak sisi lain kisah ini: bukan kali pertama mereka beraksi. Kota lain pernah mereka singgahi, dompet orang lain pernah mereka renggut, dan status residivis sudah melekat di nama mereka.
Kini, panggung pasar bukan lagi tempat mereka beraksi. Tiga emak-emak itu harus bersiap menghadapi panggung lain—meja hijau, dengan ancaman hingga tujuh tahun kurungan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP.
Di antara riuh pasar yang kembali normal, kisah mereka meninggalkan jejak: sebuah pengingat bahwa bahkan di balik wajah keibuan, bisa tersimpan rencana yang menyesatkan. Dan di pasar yang ramai, kewaspadaan adalah sahabat terbaik. (Bang Zul).
