Blitar — Pagi itu, di salah satu ruang kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, tumpukan berkas berwarna krem terlihat menumpuk di sudut meja. Di antara setumpuk dokumen pengajuan cuti, penugasan, dan mutasi, terselip pula segepok surat dengan kop permohonan yang jarang disentuh: izin cerai.
Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan pertama di tahun 2025, angka permohonan cerai di kalangan guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Blitar mendadak melonjak tajam. Data yang dihimpun Dinas Pendidikan mencatat sedikitnya 20 guru telah mengajukan izin cerai hingga pertengahan Juli ini. Jumlah ini melewati catatan sepanjang 2024 yang hanya memuat sekitar 15 permohonan — itu pun salah satunya sempat ditarik kembali.
Yang membuat fenomena ini kian menyita perhatian, sebagian besar pengaju izin cerai adalah guru perempuan. Sebuah fakta yang diamini Kepala Bidang Pengelolaan SD Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Deni Setiawan, yang secara tak sengaja menemukan data tersebut.
“Saya juga agak terkejut setelah tidak sengaja mengetahui informasi dari tim SDM. Memang ada sekitar 20 usulan (izin) cerai yang diajukan ke kami,” ujar Deni ketika ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (19/7/2025).
Snack Misterius, 10 Siswa SD di Muba Keracunan Usai Latihan Pocil
Deni bercerita, fenomena semacam ini sejatinya bukan barang baru di lingkup birokrasi, termasuk di dunia pendidikan. Namun lonjakan mendadak hingga melebihi total angka setahun penuh, dalam hitungan separuh tahun, adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kabupaten Blitar.
“Kalau tahun lalu (2024) ada sekitar 15 usulan, sekarang belum habis semester pertama sudah ada 20 usulan cerai yang masuk,” tambah Deni, seraya menatap tumpukan berkas di hadapannya.
Bagi sebagian orang, guru kerap digambarkan sebagai sosok sabar teladan, pahlawan tanpa tanda jasa. Namun realitas rumah tangga, di balik pintu rumah yang tertutup rapat, kadang menyingkap kenyataan yang tak selalu seindah suasana kelas.
Pakar sosiologi keluarga dari Universitas Negeri Malang, Siti Nurjanah, menilai melonjaknya angka perceraian di kalangan guru PPPK bisa dipengaruhi banyak faktor: tekanan ekonomi, ketimpangan peran, beban kerja ganda, hingga konflik rumah tangga yang terakumulasi.
“Status PPPK memang memberi jaminan pendapatan lebih stabil dibanding honorer. Tapi stabilitas finansial kadang justru membuat seseorang punya daya tawar lebih kuat untuk keluar dari pernikahan yang tak lagi harmonis,” papar Siti ketika dihubungi terpisah.
Kejati Papua Bongkar Dugaan Korupsi Cadangan Beras Pemerintah di Wamena
Faktor lain, lanjutnya, adalah dinamika peran gender. Mayoritas guru perempuan di level sekolah dasar tak jarang berperan ganda — sebagai pendidik di sekolah dan pengurus rumah di rumah. Ketika tekanan datang dari dua arah, persoalan yang semula sepele bisa membesar.
Di sisi lain, status PPPK yang relatif masih “baru” di tubuh ASN juga memberi warna tersendiri. Dalam beberapa kasus, para guru PPPK baru saja menikmati status yang lebih mapan, tetapi di waktu bersamaan dihadapkan pada realitas keluarga yang tak lagi sejalan.
Meski angka naik drastis, Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar belum merilis detail penyebab tren ini. Deni Setiawan menegaskan, pihaknya tetap memproses setiap permohonan sesuai regulasi. Dalam birokrasi, seorang ASN — termasuk PPPK — tak bisa memutus tali pernikahan begitu saja tanpa melewati mekanisme izin atasan.
“Kami hanya memproses administrasi sesuai prosedur. Selebihnya tentu ada ranah pengadilan dan hak pribadi masing-masing,” jelas Deni.
Pihak Disdik sendiri berencana melakukan pendekatan lebih intensif. Langkah pendalaman, pendataan, hingga konseling internal menjadi opsi agar fenomena serupa tak berkembang liar dan berdampak pada penurunan kinerja guru.
“Kami sedang rumuskan upaya agar dampak negatifnya bisa ditekan. Paling tidak, kami bisa mendengar dan memberi jalan keluar,” imbuh Deni.
Bagi seorang guru di pelosok Blitar yang enggan disebutkan namanya, perceraian bukanlah akhir dari segalanya. Baginya, hidup harus tetap berjalan meski status berubah.
“Kalau rumah tangga sudah tidak bisa dipertahankan, mau bagaimana lagi? Yang penting saya tetap mendidik anak-anak di sekolah,” ujarnya lirih.
Sementara di sudut ruang kelas, para murid tetap berdiri rapi, mengucapkan salam di awal pelajaran. Kapur masih digores di papan tulis. Dan di balik papan tulis, ada hati-hati yang kadang tergores — memikul beban di antara deretan angka, huruf, dan lembar absensi.*Er*
