Oleh: Erix Hasbullah
Sumber Opini : Masyarakat PALI
Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) bukanlah kabupaten yang lahir dari “bimsalabim” atau “abrakadabra”. Daerah ini berdiri dari tetesan keringat, perjuangan, dan pengorbanan putra-putri terbaik yang tak kenal lelah. Lebih dari 12 tahun silam, para presidium berjuang habis-habisan agar PALI lepas dari kabupaten induk. Energi, waktu, pikiran, hingga materi dikuras habis. Semua demi satu cita-cita: menghadirkan daerah otonom baru yang mandiri, berdaya, dan menyejahterakan rakyatnya.
Namun, apa yang kita lihat hari ini? PALI kita bobrok. Pemangku kebijakan terjebak dalam pusaran kepentingan, tak kunjung berbenah. Cita-cita luhur para pejuang presidium seolah dikubur dalam-dalam. Putra-putri asli PALI, yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan, justru dibiarkan jadi penonton.
Realitas pahit yang harus ditelan: hanya segelintir orang asli PALI yang duduk di kursi empuk jabatan kepala OPD atau Kabid. Sebagian besar posisi strategis dikuasai oleh orang luar daerah. Bukan berarti orang luar tidak berhak berkarya, namun di mana keberpihakan pada anak-anak bumi sendiri?
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) jelas menekankan prinsip meritokrasi: jabatan harus diberikan berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja, bukan karena kedekatan, titipan politik, atau warisan pejabat sebelumnya. Namun di PALI, meritokrasi hanya jadi jargon. Yang terlihat justru praktik “jalan belakang” dan dominasi kelompok tertentu.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS lebih rinci menegaskan bahwa pengisian jabatan harus melalui mekanisme uji kompetensi, rekam jejak, dan integritas. Pertanyaannya: apakah proses itu benar-benar berjalan di PALI, atau hanya formalitas belaka?
Ironi OPD: Salah Urus, Salah Kaprah. Mari kita bedah satu per satu:
1. Dinas Pertanian
Seharusnya menjadi garda terdepan membangun ketahanan pangan, mulai dari hulu hingga hilir. Namun faktanya, justru sibuk dengan proyek-proyek bibit, pupuk, hingga pestisida yang sering berbau monopoli. Padahal, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani jelas mengamanatkan perlindungan petani dari praktik curang distribusi sarana produksi.
2. Dinas Perikanan
Alih-alih fokus membudidayakan ikan, memperkuat ekonomi rakyat melalui pengelolaan sungai, embung, hingga kolam rakyat, yang tampak justru proyek-proyek receh: lelang pempek dan otak-otak. Apakah ini visi besar pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan? Atau hanya permainan kecil demi keuntungan sesaat?
3. Disperindag
Tugas utamanya adalah menjaga stabilitas perdagangan dan perlindungan konsumen. Namun, malah terkesan melindungi kontraktor nakal yang memasok material bangunan palsu. Padahal, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib melindungi masyarakat dari barang/jasa yang tidak sesuai standar.
Aparat Penegak Hukum: Jadi Penonton atau Pemain Politik?. Ironi lain yang mencabik hati adalah peran aparat penegak hukum (APH). Polisi, jaksa, hingga inspektorat seolah kehilangan tajinya.
Polisi di PALI kadang lebih sibuk tampil layaknya calon legislatif: ikut berfoto di proyek, membuat framing pencitraan, tapi nihil gebrakan nyata memberantas kriminalitas besar. Padahal, tugas utama mereka jelas diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI: menjaga keamanan dan menegakkan hukum.
Kejaksaan? Seperti masuk angin. Kasus korupsi di PALI seolah sulit sekali diucapkan, apalagi diungkap. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tegas menyebutkan bahwa kejaksaan adalah lembaga utama dalam pemberantasan korupsi. Apakah fungsi ini masih dijalankan, atau malah pura-pura buta dan tuli?
Inspektorat? Sekadar pelengkap penderita. Tidak ada nyali, tidak paham tugas, atau pura-pura tidak tahu? Padahal Permendagri No. 134 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pengawasan oleh Inspektorat Daerah, memberi mandat kuat untuk melakukan pengawasan internal, pencegahan korupsi, dan audit kinerja perangkat daerah.
Jika semua aparat hanya menjadi penonton, lalu siapa yang membela kepentingan rakyat?
Krisis Kepemimpinan dan Budaya Bisu
Budaya “asal bapak senang” dan “diam demi aman” masih mengakar kuat. Kritik dianggap ancaman, saran dianggap gangguan. Padahal, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi hak penuh kepada masyarakat untuk tahu, mengkritisi, dan ikut serta dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan.
Sayangnya, di PALI keterbukaan hanya sekadar wacana. Anggaran dikelola bak harta karun, hanya segelintir yang tahu ke mana arah peruntukannya. Padahal, rakyat yang menjadi pemilik sah anggaran itu.
Solusi: Berbenah atau Tenggelam. Kritik tanpa solusi hanya jadi keluh kesah. Maka inilah saran yang harus segera dijalankan:
1. Terapkan Meritokrasi Murni
Setiap pengisian jabatan wajib melalui lelang terbuka, dengan penilaian kinerja dan rekam jejak yang transparan. Libatkan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) agar tidak ada titipan politik.
2. Reformasi OPD Secara Menyeluruh
Dinas Pertanian harus kembali ke khitahnya: fokus pada ketahanan pangan, bukan proyek semu.
Dinas Perikanan wajib membangun ekonomi rakyat, bukan sibuk mengurusi otak-otak.
Disperindag harus menindak tegas pelaku usaha nakal yang merugikan konsumen.
3. Penguatan Aparat Penegak Hukum
Polres harus berhenti berperilaku seperti caleg. Fokus pada pemberantasan kriminal dan mafia proyek.
Kejari harus berani mengeksekusi kasus korupsi di PALI, bukan sekadar menunggu “instruksi atasan”.
Inspektorat wajib mengaktifkan fungsi audit internal, jangan jadi boneka.
4. Keterbukaan Anggaran
Terapkan sistem e-budgeting yang bisa diakses publik. Anggaran daerah adalah milik rakyat, bukan rahasia pejabat.
5. Perlindungan Budaya dan Putra Daerah
PALI harus kembali pada semangat awal presidium: memberdayakan putra daerah, menghormati kearifan lokal, tanpa menutup peluang kolaborasi dengan pihak luar.
PALI tidak akan pernah maju jika pemimpinnya hanya sibuk berpuas diri dengan pencitraan murahan. 12 tahun sudah berlalu, perjuangan presidium jangan dinodai dengan kebobrokan tata kelola.
Kini saatnya pemimpin PALI berbenah. Tegakkan meritokrasi, jalankan aturan, kuatkan pengawasan, dan hargai putra daerah. Jika tidak, sejarah akan mencatat: para pemimpin sekarang hanyalah pengkhianat cita-cita awal berdirinya Kabupaten PALI.
Dan kepada APH, pemerintah, serta OPD: bersihkan noda dengan prestasi, bukan framing basi. Rakyat sudah muak.
