Maraknya Oknum Wartawan Bodrex, Elvist Berikan Bocoran Untuk Pejabat

Maraknya Oknum Wartawan Bodrex, Elvist Berikan Bocoran Untuk Pejabat

Dunia Pers Nasional
Spread the love

JAKARTA – Di era digital yang ditandai dengan derasnya arus informasi, siapa pun kini dapat dengan mudah membuat, mengakses, dan membagikan informasi. Kehadiran media sosial dan media massa digital mempercepat penyebaran informasi dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia. Ini menjadi tonggak penting dalam peradaban modern, sekaligus membuka ruang demokratisasi informasi secara luas. Namun, di balik kemudahan itu, terdapat tantangan besar yang mengancam integritas informasi dan marwah profesi jurnalisme.

Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa dalam dunia digital ini, penyebaran informasi tidak sepenuhnya bebas tanpa batas. Ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Undang-undang ini mengatur dan memberi sanksi tegas kepada siapa saja yang menyebarkan berita bohong, mencemarkan nama baik, atau melakukan ujaran kebencian di dunia maya. Sayangnya, ketidaktahuan terhadap aturan ini telah menjerat banyak orang ke dalam proses hukum, baik sengaja maupun tidak.

Seiring berkembangnya zaman, media massa digital atau siber kian menjamur. Membuat sebuah media siber kini tidaklah serumit dulu. Cukup dengan membuat situs daring, mendaftarkan badan hukum seperti PT Perorangan, maka lahirlah sebuah media. Kondisi ini membuka peluang besar bagi siapa pun untuk mendirikan media dan menyebut dirinya sebagai wartawan.

Menurut wartawan senior Dr. Elvist Silitonga, M.Kom, lonjakan signifikan terjadi dalam jumlah wartawan dan media di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Dari tahun 2020 hingga 2024, jumlah wartawan telah menyentuh angka hampir 0,7 persen dari total penduduk Indonesia. Angka itu melonjak menjadi 0,9 persen per Februari 2025.

“Ini fenomena luar biasa. Saya menduga, lonjakan jumlah wartawan karena makin sempitnya lapangan kerja formal dan adanya peluang kerjasama media dengan pemerintah,” ujar pria kelahiran Medan yang telah malang melintang di dunia pers sejak tahun 1980-an.

Lebih lanjut, Elvist menyayangkan bahwa profesi wartawan kini menjadi sangat mudah digeluti oleh siapa saja, tanpa proses penyaringan dan pelatihan yang layak. “Tidak seperti sebelum tahun 2000, dulu wartawan dituntut memiliki latar pendidikan minimal D3. Lulusan SMA saja belum bisa melamar,” kenangnya.

Namun, aturan kemudian bergeser. Lulusan SMA bisa menjadi wartawan magang selama dua tahun, lalu menjalani Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Setelah lulus sertifikasi inilah seorang wartawan dianggap kompeten menjalankan tugas liputan secara profesional.

Masalah muncul ketika banyak yang mengaku sebagai wartawan, namun tidak memahami—atau bahkan mengabaikan—aturan jurnalistik dan kode etik profesi. Mereka tidak tergabung dalam organisasi wartawan resmi, tidak memiliki kartu identitas profesional yang sah, dan tidak menjunjung tinggi prinsip jurnalistik seperti konfirmasi berita, hak jawab narasumber, serta kaidah penulisan jurnalistik yang benar.

“Oknum wartawan seperti inilah yang merusak citra profesi. Mereka datang ke pejabat tidak dengan etika, tidak paham SOP kerja jurnalis, dan seringkali menulis berita tanpa konfirmasi. Bahkan kadang langsung tayang tanpa melalui proses penyaringan redaksi,” tegas Elvist.

Parahnya lagi, lanjutnya, tidak jarang berita-berita yang ditayangkan bersifat tudingan dan spekulatif, tanpa data, dan mengandung unsur pencemaran nama baik. “Yang paling sering, mereka menulis dengan dalih ‘dugaan’. Tapi dugaan siapa? Atas dasar apa? Ini berbahaya!” ucap mantan wartawan harian Sinar Harapan dan Sinar Pagi ini.

Fenomena “wartawan bodrex” menjadi istilah populer untuk menyebut oknum wartawan yang hanya mengejar imbalan, bukan kualitas berita. Menurut Elvist, istilah ini mengacu pada perilaku oknum yang mendatangi perangkat desa, ASN, atau pejabat pemerintah setiap kali ada kegiatan pencairan dana atau proyek desa, lalu menyodorkan proposal atau permintaan “uang bensin” dengan kedok liputan atau kunjungan silaturahmi.

“Teman saya bercerita, di desanya setiap ada pencairan dana desa, selalu datang wartawan-wartawan baru, tidak dikenal, hanya bawa proposal atau minta duit. Ini sudah seperti pelacuran profesi. Apakah tidak memalukan?” kritiknya keras.

Elvist menilai, perilaku seperti ini mencoreng kehormatan wartawan-wartawan sejati yang bekerja dengan profesionalisme dan integritas tinggi. “Profesi wartawan itu mulia. Dulu kami dihormati karena kualitas karya dan integritas. Sekarang, banyak pejabat takut bukan karena kualitas berita, tapi karena teror dari oknum,” tambahnya.

Elvist menilai Dewan Pers harus bersikap lebih tegas dan mengusulkan regulasi baru ke pemerintah, agar profesi jurnalis kembali memiliki marwah. “Buat aturan resmi, rumuskan bersama eksekutif dan legislatif. Sertifikasi profesi harus diwajibkan, termasuk syarat pendidikan minimal,” usulnya.

Ia juga menekankan pentingnya organisasi wartawan yang kredibel. Menurutnya, di banyak daerah, organisasi wartawan didirikan tanpa struktur yang jelas, tanpa pelatihan, bahkan tanpa mekanisme pengawasan terhadap anggotanya.

“Menjadi ketua organisasi wartawan itu seharusnya seorang wartawan senior yang kompeten, bisa jadi panutan, dan memahami aturan. Bukan hanya karena banyak anggota,” tegasnya.

Dalam wawancara khusus pada Selasa 10 Juni 2025 di kediamannya di Kebun Siri, Jakarta Pusat, Elvist memberikan pesan penting kepada para pejabat publik. Ia mendorong agar tindakan tegas dilakukan terhadap media dan wartawan abal-abal.

“Kalau ada pelanggaran kode etik, berita fitnah, hoaks, atau pencemaran nama baik, tempuh jalur hukum! Jangan takut. Itu akan memberi efek jera dan mendidik yang lainnya,” serunya.

Ia juga menyoroti fenomena media yang menayangkan berita negatif, lalu menghapusnya setelah ‘didekati’. “Media seperti ini harus dicap tidak layak dipercaya. Dewan Pers perlu keluarkan daftar media abal-abal secara berkala,” tuturnya.

Bagi oknum yang menyebarkan berita palsu, mencemarkan nama baik, atau melakukan ujaran kebencian, dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Sanksinya berupa pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp750 juta. Selain itu, dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa pers wajib menghormati asas praduga tak bersalah dan menyajikan berita secara berimbang.

Sedangkan sanksi administratif bisa berupa pencabutan hak liputan oleh instansi atau pemutusan kerjasama iklan oleh pemerintah daerah.

Dr. Elvist Silitonga menutup percakapan dengan penuh harap. Ia mengajak semua insan pers, pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga kemuliaan profesi jurnalis. “Kami yang sudah tua ini hanya ingin melihat anak-anak muda jurnalis punya martabat. Jangan jual profesi ini hanya karena peluang ekonomi. Ini profesi yang melahirkan perubahan. Jangan dirusak oleh ambisi pribadi,” tuturnya lirih.

Di era yang serba cepat ini, kecepatan informasi tak boleh mengalahkan akurasi, etika, dan tanggung jawab. Jurnalisme bukan sekadar menulis, tapi tanggung jawab moral untuk menyampaikan kebenaran. Saatnya semua pihak bangkit, menyaring, dan menata kembali wajah jurnalisme Indonesia agar kembali menjadi cahaya yang menerangi, bukan bayangan yang menyesatkan. (Yudha Arie).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *