Sumsel – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Sumatera Selatan yang dirilis pada 25 Mei 2025 menjadi sorotan tajam publik. Dalam laporan tersebut, BPK menemukan kelebihan pembayaran mencapai sekitar Rp2,7 miliar pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) tahun anggaran 2024.
Temuan fantastis itu langsung memicu gelombang kritik dari berbagai pihak, salah satunya dari Komunitas Penggiat Anti Korupsi (KPAK) yang menilai kasus tersebut tidak bisa dianggap sepele dan harus segera diungkap secara transparan.
“Inspektorat PALI jangan diam. Umumkan secara terbuka kepada publik, apakah temuan kerugian negara itu sudah dikembalikan ke kas daerah atau belum. Kalau sudah, sebutkan jumlahnya. Kalau belum, apa alasannya? Publik berhak tahu!” tegas Koordinator Umum KPAK, Senin (3/11/2025).
Ia menegaskan, temuan BPK ini merupakan ujian bagi integritas dan transparansi tata kelola keuangan daerah, bukan sekadar urusan administratif.
“Kalau tidak ditemukan BPK, bisa saja ini jadi ‘rezeki nomplok’ bagi oknum yang berniat jahat. Ketika ketahuan, mereka tinggal bilang ‘pinjam dulu uang negara tanpa bunga’. Ini logika maling uang rakyat yang harus dilawan,” sindirnya keras.
Menurut KPAK, nilai kelebihan pembayaran Rp2,7 miliar tersebut bukan kesalahan teknis biasa, melainkan indikasi kuat adanya penyimpangan keuangan yang berpotensi korupsi. Karena itu, pihaknya mendesak Sekretaris Daerah (Sekda) PALI untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap OPD yang tidak patuh terhadap regulasi pengelolaan keuangan.
“Kalau OPD seperti ini dibiarkan, itu bukan hanya persoalan ketidakmampuan, tapi juga bisa jadi kesengajaan. Kalau benar ada niat menyimpang, sama saja dengan upaya mencuri uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya lantang.
Koordinator KPAK juga mengingatkan dasar hukum dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam aturan tersebut ditegaskan, setiap entitas pemeriksaan wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK dalam waktu 60 hari sejak diterimanya LHP.
“Jika dalam waktu 60 hari tidak ada pengembalian atau perbaikan administratif, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai potensi kerugian negara dan harus dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH) untuk diproses sesuai hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, KPAK menilai bahwa temuan BPK ini merupakan alarm keras bagi Pemkab PALI agar segera berbenah dalam tata kelola anggaran.
“Jangan biarkan kasus seperti ini berlalu tanpa pertanggungjawaban. Yang benar diapresiasi, yang salah ditindak. BPK sudah membuka fakta, kini tinggal keberanian pemerintah daerah dan APH untuk menindaklanjuti. Jika dibiarkan, publik akan menilai bahwa Pemkab PALI tidak serius memberantas korupsi,” tandasnya.
Tak berhenti sampai di situ, KPAK juga memastikan akan melayangkan surat resmi kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) guna meminta pengusutan tuntas terhadap dugaan penyimpangan tersebut.
“Kami tidak hanya mendesak Inspektorat PALI bersikap transparan, tapi juga akan mengirim surat ke Kejati Sumsel agar mengusut dugaan korupsi ini hingga ke akar-akarnya. Bahkan, kami mencatat bukan hanya satu dinas yang bermasalah—ada juga OPD lain yang terkesan tertutup terkait temuan BPK, termasuk pada level Sekretariat Daerah,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, OPD terkait dan pihak Pemkab PALI belum memberikan tanggapan resmi atas temuan LHP BPK tersebut. (EH).
