Larangan Live TikTok Saat Demo, Upaya Membungkam atau Takut Terekam?

Larangan Live TikTok Saat Demo, Upaya Membungkam atau Takut Terekam?

Nasional
Spread the love

Jakarta – Imbauan Polda Metro Jaya agar peserta aksi buruh di depan Gedung DPR/MPR, Kamis (28/8), tidak melakukan siaran langsung (live) TikTok menuai tanda tanya besar. Alih-alih sekadar menjaga ketertiban, larangan ini justru memunculkan kesan adanya upaya membatasi kebebasan berekspresi dan transparansi publik.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam, beralasan live TikTok kerap dimanfaatkan untuk mencari gift atau hadiah sehingga mengaburkan tujuan unjuk rasa. Namun alasan tersebut dianggap terlalu dangkal dan tidak relevan dengan konteks demokrasi.

“Ini ada metode baru, mudah-mudahan tidak terjadi lagi, mengajak masyarakat untuk melakukan aksi dengan live TikTok,” kata Ade Ary, Rabu (27/8).

Polda juga mengaku akan memantau media sosial dan bahkan berkoordinasi dengan pihak platform untuk mengantisipasi konten provokatif. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya serius: apakah pemantauan tersebut bertujuan menjaga keamanan, atau justru mengontrol informasi agar tidak sampai ke publik secara apa adanya?

Bagi banyak pihak, larangan live TikTok ini terasa kontradiktif. Di satu sisi, aparat selalu menegaskan siap mengawal demonstrasi sesuai koridor hukum. Namun di sisi lain, publik justru dihalangi untuk melakukan dokumentasi secara real-time. Jika semua pihak berjalan di rel yang benar, mengapa harus takut terekam oleh kamera warga?

Fakta di lapangan menunjukkan, media sosial selama ini kerap menjadi saksi digital yang merekam peristiwa sebenarnya—termasuk potensi pelanggaran hak warga atau tindakan represif aparat. Larangan live streaming justru dikhawatirkan menjadi tameng agar praktik semacam itu tidak tersebar luas.

Kekhawatiran aparat terhadap “provokasi” di media sosial semestinya tidak dibalas dengan pembatasan. Sebab demokrasi hanya bisa tumbuh jika transparansi dijaga, bukan dibungkam. Apalagi, aksi buruh adalah hak konstitusional warga negara.

Jika benar alasan larangan hanya sebatas “gift” TikTok, publik tentu berhak mempertanyakan: apakah negara ini sedang sibuk mengurusi gimmick media sosial, atau justru mencoba menghalangi dokumentasi yang tidak bisa dikendalikan?

Di era digital, rekaman warga adalah salah satu bentuk kontrol sosial. Menghalangi itu sama saja dengan mereduksi demokrasi. Justru aparat mestinya menyambut keterbukaan—sebab bukti video bisa memperlihatkan siapa yang benar-benar memprovokasi, siapa yang tertib, dan siapa yang melanggar hukum.

(Bang Yop).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *