Krisis Sungai PALI. Eksploitasi Ilegal, Limbah Perusahaan, dan Diamnya Pemerintah

Krisis Sungai PALI. Eksploitasi Ilegal, Limbah Perusahaan, dan Diamnya Pemerintah

Ekonomi Info Alam Nasional
Spread the love

PALI, SUMSEL – Sungai di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) kini berada di titik nadir. Keluhan para pengemin lelang Lebak Lebung yang pendapatannya anjlok akibat berkurangnya hasil tangkapan ikan bukan lagi sekadar isyarat kecil, tetapi alarm keras yang mengancam keberlanjutan sumber pendapatan asli desa (PADes) dan pendapatan asli daerah (PAD).

Anggota DPRD PALI, Edi Eka Puryadi, S.Sos, angkat bicara lantang. Dalam pandangan Fraksi PKS sekaligus Komisi I DPRD PALI, ia menegaskan bahwa di wilayah Desa Air Itam hingga Tempirai, praktik eksploitasi sumber daya hayati perikanan telah berlangsung secara ilegal.

“Badan sungai habis dipasang langsatan dari strimin, masyarakat menangkap ikan dengan setrum biasa bahkan setrum canggih. Akibatnya, orang enggan membeli sungai melalui lelang Lebak Lebung. Bahkan di musim kemarau, sungai Penukal dari hulu mulai Desa Raja Jaya, Tempirai, hingga Air Itam diputas. Namun sampai hari ini tidak ada tindakan nyata dari pemerintah maupun aparat penegak hukum,” tegas Edi Eka.

Pernyataan ini ia sampaikan secara tertulis melalui grup WhatsApp Informasi PALI Terkini pada Minggu (21/9/2025), setelah beredar pemberitaan dari media lain tentang keluhan masyarakat yang kian resah melihat kondisi sungai rusak parah.

Ironisnya, meski persoalan ini sudah berulang kali disuarakan di mimbar dewan—bahkan saat kedua pasangan kepala daerah hadir dalam rapat Paripurna—tetap tidak digubris. Lebih memprihatinkan lagi, jika suara rakyat yang disampaikan wakilnya diabaikan, apalagi keluh kesah langsung masyarakat di lapangan.

Edi Eka menegaskan, sungai bukan sekadar aliran air, melainkan aset desa dan aset kabupaten yang harus dijaga bersama. “Seperti pembukaan lahan perkebunan di hulu sungai, wilayah yang sejatinya adalah sumber PAD, seharusnya dilindungi dengan memasukkannya ke dalam perda tata ruang wilayah. Dari dahulu itu milik marga, dan wajib dilestarikan,” tambahnya.

Namun permasalahan sungai PALI tidak hanya berhenti pada praktik ilegal masyarakat. Dari hasil penelusuran penulis, sumber kerusakan sungai juga datang dari arah lain: perusahaan.

Di kawasan Tanah Abang, sejak aktivitas hauling batu bara beroperasi, hampir seluruh sungai dan lahan pertanian tercemar. Debu dan limbah dari kegiatan tersebut merusak kualitas air dan udara. Belum lagi keberadaan stock file yang menimbulkan pencemaran udara bagi warga sekitar.

Tak hanya itu, perusahaan migas seperti Pertamina Adera Field pun tercatat sebagai penyumbang limbah yang mencemari lahan pertanian warga. Situasi ini jelas memperburuk nasib masyarakat yang menggantungkan hidup pada sungai dan tanah mereka.

Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa hingga kini tidak ada tindakan nyata dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten PALI maupun Provinsi Sumatera Selatan. Aparat penegak hukum (APH) pun seolah memilih tutup mata.

Padahal, Peraturan Daerah (Perda) maupun undang-undang lingkungan hidup sudah jelas melarang pencemaran dan eksploitasi berlebihan sumber daya alam. Tidak ada ruang kompromi bagi siapapun—baik masyarakat nakal yang merusak sungai dengan setrum, maupun perusahaan besar yang menebar limbah.

Ketidakseriusan pemerintah dalam menindak tegas persoalan ini sama artinya dengan membiarkan PAD dan PADes runtuh perlahan, serta menggadaikan masa depan generasi mendatang yang semestinya berhak menikmati kekayaan hayati sungai.

Sungai adalah urat nadi peradaban. Ketika sungai mati, maka kehidupan pun ikut terkubur. Jika eksploitasi ilegal dan pencemaran dibiarkan terus terjadi, maka jangan kaget jika suatu saat lelang Lebak Lebung tidak lagi diminati, PADes dan PAD menurun drastis, dan masyarakat kehilangan sumber penghidupan.

Kritik tajam ini harus menjadi cambuk: Pemerintah dan APH jangan hanya pandai membuat perda dan pidato, tetapi abai dalam penegakan hukum. Semua pelaku—baik masyarakat maupun korporasi—harus diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa pandang bulu.

Jika sungai yang menjadi kebanggaan PALI berubah menjadi kubangan limbah, maka itu bukan hanya kesalahan pelaku pencemaran, melainkan juga akibat dari diamnya pemerintah. (EH).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *