Kisah Tragis Hilangnya Pemuda Natar yang Berakhir di Dasar Sungai
Oleh: Tim Redaksi
Natar, Lampung Selatan — Di pagi yang basah oleh embun, di sudut rumah kayu sederhana di Gedung Ketapang, sunyi masih menggantung berat. Sejak 27 Juli 2025, rumah itu tak lagi sama. Sosok muda bernama Pandra Apriliandi (21), yang biasa menyapa tetangga sambil menenteng tas kerja, telah lama tak terlihat. Ia hilang tanpa jejak, seolah ditelan bumi.
Teriakan hati keluarganya menggema, ditumpahkan lewat laporan orang hilang ke Polsek Natar. Harapan pun ditegakkan, doa mengalir, namun semesta ternyata menyimpan kisah tragis di balik hilangnya sang anak kebanggaan keluarga itu.
Hari demi hari berlalu. Upaya pencarian tak kunjung membuahkan hasil, hingga satu hari, kabar buruk datang menyayat: Pandra ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, terapung di aliran sungai, tak jauh dari pemukiman warga.
Tubuhnya telah kaku, matanya tertutup rapat, dan tali keji yang menutup napasnya perlahan membuka misteri. Ia tak pergi, ia dibunuh. Bukan oleh musuh, bukan oleh orang asing, tapi oleh nasabahnya sendiri, seseorang yang ia kenal dan mungkin ia percaya.
Pelaku Adalah Nasabah: “Salam” Nama yang Menjadi Duka
Nama pelaku mulai terdengar lirih di lorong penyidikan: Salam, warga Dusun Purworejo, Branti Raya. Bukan orang jauh. Ia adalah nasabah korban, seseorang yang pernah menjalin relasi, entah dalam urusan bisnis atau kepercayaan.
Penangkapan Salam oleh tim gabungan Ditreskrimum Polda Lampung dan Polres Lampung Selatan menjadi titik balik dari semua pencarian. Di ruang pemeriksaan, Salam akhirnya bicara. Suaranya pelan, matanya menunduk.
“Saya jerat dia pakai tali… di dalam rumah… saya takut dia teriak,” begitu kata Salam, seperti dituturkan penyidik.
Sejak awal, Polsek Natar tak tinggal diam. Laporan kehilangan Pandra dengan nomor LP/B-105/VII/2025 langsung ditindaklanjuti. Pandra terakhir terlihat di kontrakan milik rekannya, Fajar, di Gang Rotan, Desa Candimas. Dari sanalah semuanya dimulai.
Tim penyelidik bekerja siang malam, menelusuri jejak-jejak samar. Salah satu petunjuk mengarah pada keberangkatan dua anak Salam — Andika (21) dan Muhfidz (13) — ke Tangerang pada 29 Juli 2025. Polisi curiga, apakah ini hanya kebetulan atau upaya menyembunyikan sesuatu?
Tim dikerahkan ke Tangerang. Di sana mereka bertemu Deni Maryani, istri Salam, ibu dari kedua anak itu. Keterangan demi keterangan dikumpulkan. Polisi yakin, Salam berperan besar dan mungkin tak sendiri.
Di sisi lain, dua saksi kunci, Tari Puspita Yanti (kekasih korban) dan Putri Santika (kakak korban), turut diperiksa. Tari, dengan mata sembab, mengaku Pandra sempat pamit hendak menemui seseorang sebelum hilang. Namanya Salam. Seketika nama itu jadi fokus.
Dari pengakuan Salam, motif awal diduga karena urusan uang. Diduga ada janji atau hutang, namun itu belum dikonfirmasi sepenuhnya. Yang jelas, saat pertemuan terjadi, pertengkaran pecah. Salam mengaku panik. Dalam ruang sempit itu, ia mengambil tali, dan… menjerat.
Pandra memberontak. Tapi Salam lebih dulu menutup mulutnya, lalu melilit leher korban. Dalam hitungan detik yang sunyi, hidup Pandra dirampas. Dibuang begitu saja ke sungai, seolah tak berarti.
Di sela pengakuannya, Salam sempat mengusap wajah. Tapi air matanya tak jatuh. Entah karena menyesal atau hanya sekadar ingin terlihat menyesal.
Sementara jasad Pandra telah ditemukan dan dibawa ke RS Bhayangkara, proses autopsi kini masih berlangsung. Kepolisian masih menunggu hasil resmi untuk memastikan penyebab pasti kematian dan mencari kemungkinan luka lain yang mungkin menjadi bukti tambahan.
“Kami minta semua pihak bersabar. Kami bekerja profesional dan akan menyampaikan hasil autopsi begitu selesai,” kata juru bicara Polda Lampung dalam keterangannya.
Di Gedung Ketapang, tangis keluarga belum juga reda. Sang ibu, yang sebelumnya berharap anaknya hanya tersesat atau diculik, tak kuasa menahan duka saat melihat tubuh Pandra terbujur kaku di kamar jenazah.
“Kenapa harus kamu, Ndra… kenapa…,” lirihnya di depan peti.
Kisah tragis Pandra adalah cermin buram dunia kita hari ini. Di mana kepercayaan bisa dibalas dengan pengkhianatan. Di mana orang yang tampak biasa, bisa berubah menjadi pembunuh dalam hitungan detik.
Mungkin Pandra tak pernah mengira bahwa kunjungannya pada hari itu akan menjadi yang terakhir. Bahwa ia akan pergi bukan karena ajal alami, tetapi karena tangan manusia yang dirasuk oleh ego dan keserakahan.
Kini, masyarakat Lampung Selatan menanti satu hal: keadilan. Bukan hanya untuk Pandra, tetapi juga untuk setiap orang baik yang pernah jadi korban kejahatan oleh orang yang mereka percaya.(Js).
