Dalam arus deras pembangunan dan kebijakan publik, kontrol sosial hadir bak lentera yang tak henti berkedip di lorong gelap pengambilan keputusan. Ia tak lahir secara kebetulan tetapi tumbuh dari panggilan jiwa, dari desakan nurani yang mengendap di dada para pegiatnya.
Kontrol sosial bukan sekadar kata kosong di buku teori. Ia hidup di dada jurnalis yang menajamkan pena demi merangkai kritik, menelisik celah di antara kebijakan yang melenceng dari garis aturan. Di sana, kata-kata diolah, dikupas, lalu ditumpahkan menjadi berita yang mencerahkan, meski kadang terasa pahit bagi yang tersentil.
Di sudut jalan, di bawah terik matahari atau hujan yang mengguyur, kaum intelektual, para mahasiswa, merapal kritik lewat toa, memanggul spanduk, membentangkan poster. Mereka menyalakan kesadaran publik bahwa kebijakan bukan kitab suci yang tak bisa digugat. Aksi mereka adalah suara lantang bahwa idealisme tak boleh ditukar dengan diam.
Begitu pula lembaga kemasyarakatan, organisasi-organisasi rakyat, lahir dari kepercayaan dan partisipasi warga. Mereka bukan sekadar penonton di kursi tribun, tetapi tangan kedua yang membantu pemerintah merawat keadilan. Di sanalah kritik berpadu dengan sumbangsih, agar kebijakan tidak semata berdiri di atas kepentingan segelintir.
Maka, ketika kritik datang, para pemangku kebijakan baik pejabat pemerintah maupun pelaku swasta sepatutnya menjadikannya cermin. Setiap suara sumbang harusnya diterjemahkan menjadi bahan koreksi, bukan alasan untuk memupuk alergi.
Sebab bila kebijakan takut disentuh kritik, maka di sanalah benih otoritarian tumbuh diam-diam. Bukankah kebijakan yang baik tak perlu takut dikritik? Jika bersih, mengapa risih? Jika lurus, mengapa gusar? Kritik sejatinya menegakkan pilar kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya.
Dan di sinilah peran kontrol sosial menemukan nilai suci: menjaga agar lentera kebijakan tetap terang di setiap ruang putusan. Agar tak ada tirani yang diam-diam merayap di balik meja rapat, agar keadilan tak sekadar jargon dalam pidato perayaan.
Kritik bukan musuh. Ia adalah pelita. Dan pelita tak pernah memadamkan langkah ia menuntun, agar jalan yang ditempuh tetap di rel, tak terjebak gelap, dan tak kehilangan arah.
Artikel: Opini
Ditulis oleh: ES, Selasa dinihari 15/07/2025. 02:59 WIB di Pelosok Negeri
