PALI, SUMSEL – Warga Desa Curup, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), dibuat murka akibat dugaan kelalaian PT Pertamina Adera Field. Kebocoran pipa di wilayah Raja 45 pada Selasa (9/9/2025) lalu, hingga kini masih menyisakan pencemaran minyak mentah di kebun produktif masyarakat.
Akibat insiden tersebut, sedikitnya 36 batang pohon karet berusia 15 tahun, satu batang pohon jabon, pohon bengkal, dua batang rengas, tiga rumpun pisang, hingga satu petak sawah warga rusak terkena cemaran minyak mentah. Kondisi ini jelas memukul perekonomian masyarakat yang menggantungkan hidup pada hasil kebun.
Luci Suryadi, salah seorang warga terdampak, telah melaporkan kejadian ini kepada Kepala Desa Curup, Muhammad Tisar.
“Benar, pada 9 September lalu, warga atas nama Luci melapor bahwa pipa Pertamina Adera pecah dan minyak merusak kebun warga,” ungkap Tisar.
Namun hingga berita ini diturunkan, warga belum juga mendapatkan kejelasan soal ganti rugi. Pertamina Adera justru terkesan lepas tangan. Saat dikonfirmasi, perwakilan perusahaan, Indrika Eko Sriyatini, S.Sos., M.Si., berdalih sedang cuti, sementara rekannya hanya menyebut masih menunggu klarifikasi internal terkait mekanisme penanganan dan ganti rugi.
Ironisnya, hingga kini tidak terlihat langkah tegas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten PALI. Padahal sesuai tugas dan kewenangan, DLH seharusnya melakukan investigasi cepat, mengambil sampel, mengukur tingkat pencemaran, dan memastikan ada langkah pemulihan lingkungan.
Sikap diam DLH ini menuai kritik tajam dari masyarakat. “DLH seolah tutup mata, padahal pencemaran sudah jelas-jelas merusak kebun dan sawah warga. Apakah harus menunggu kerusakan lebih parah dulu baru bertindak?” keluh seorang tokoh masyarakat setempat.
Praktisi hukum, Apriansyah, S.H., menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan berpotensi sebagai tindak pidana lingkungan hidup sekaligus pelanggaran di sektor migas.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan:
Pasal 69 melarang setiap orang atau badan usaha melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Pasal 116 menyatakan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika terbukti, ancaman sanksinya adalah pidana penjara 3–10 tahun dan denda Rp3–10 miliar.
Selain itu, PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 mewajibkan perusahaan migas untuk mencegah dan mengendalikan dampak buruk limbah terhadap lingkungan maupun kesehatan masyarakat.
Lebih jauh, menurut UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, perusahaan migas diwajibkan menjaga keselamatan operasi serta perlindungan lingkungan (Pasal 40). Bila melanggar, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin operasi.
“Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk. Pertamina harus bertanggung jawab secara penuh, bukan hanya ganti rugi, tapi juga pemulihan lingkungan. Aparat penegak hukum juga harus turun tangan,” tegas Apriansyah.
Hingga kini, kebun warga yang tercemar belum juga mendapat ganti rugi. Warga mendesak Pertamina Adera segera memberikan kompensasi nyata, sekaligus menuntut pemerintah daerah, khususnya DLH PALI, untuk tidak lagi tinggal diam.
Masyarakat menilai pemerintah daerah seolah hanya menjadi “penonton” ketika rakyatnya dirugikan oleh perusahaan migas besar. Padahal, jika aturan ditegakkan, Pertamina Adera tidak hanya wajib mengganti kerugian warga, tetapi juga bisa dijerat pidana lingkungan hidup bila terbukti lalai.
“Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kami butuh keadilan,” pungkas warga dengan nada kecewa. (EH).
