Cisauk, Kabupaten Tangerang — Malam itu, di Jalan Lamping Kancil, Desa Cibogo, Cisauk, langit tampak muram, seolah turut memendam rahasia gelap yang segera terbongkar. Di bawah sinar lampu teras yang temaram, seorang perempuan berinisial APSD (22) datang dengan harapan kecil: menagih janji pelunasan utang sebesar Rp 1,1 juta.
Ia tidak tahu, janji itu hanya umpan maut yang disusun rapi oleh Rafli Ramana Putra (19), pemuda yang pernah dekat dengannya. Di samping Rafli, dua nama lain terlibat: Ibra Firdaus (21) dan seorang Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) berinisial AP (17).
Malam yang sunyi pecah oleh rekonstruksi yang digelar polisi pada Selasa (22/7/2025). Di tempat kejadian perkara, tiga pemuda itu memperagakan ulang bagaimana nyawa APSD direnggut.
Semua bermula sekitar pukul 22.00 WIB. Lewat pesan, Rafli memohon korban datang ke rumahnya. Alasannya sederhana: membayar utang dan bertemu untuk terakhir kali. “Gua mau bayar utang dan buat terakhir kali ketemu sama lu, janji,” ucap Rafli, menirukan kata-kata yang diucapkannya malam itu.
Korban sempat menolak masuk ke dalam rumah. Tapi rayuan lembut Rafli memaksa hatinya luluh. Ia duduk di sofa teras, masih waspada. Sementara dua pemuda lainnya, Ibra dan AP, duduk tak jauh, diam seperti patung yang menunggu perintah.
Detik demi detik menjemput petaka. Rafli merampas ponsel korban, membaca percakapan di dalamnya. Emosi membuncah, ponsel dilempar ke tanah. Ia sempat masuk ke dalam rumah, seolah menenangkan diri. Saat Rafli keluar lagi, korban sudah berdiri, bersiap kabur dengan motornya.
Namun rencana pulang itu pupus di jok motor. Rafli, yang diliputi api cemburu dan amarah, naik ke belakang korban, membekap mulutnya dengan tangan kanan. Korban terjungkal ke tanah, tengkurap. Nafasnya memburu. Malam terasa kian pekat.
Dua sekutu Rafli, Ibra dan AP, maju mendekat. Rafli memerintahkan mereka mengambil borgol. Tanpa ampun, tangan korban diborgol ke belakang. Di situlah, di sela sisa tenaga yang kian menipis, APSD berusaha melawan takdir dengan jeritan terakhirnya.
“Bunda! Aku minta tolong!” — suara yang seketika ditelan sunyi, dibungkam paksa oleh jaket Rafli yang menutupi mulutnya.
Tubuh yang lemah itu kemudian digotong bertiga ke lorong sempit kontrakan di belakang rumah. Tak ada tetangga yang mendengar, tak ada saksi mata yang sempat menolong. Di lorong pengap itulah, korban diduga diperkosa dan akhirnya dihabisi. Setelah itu, jasadnya dibuang ke semak-semak, seolah tak pernah berarti.
Kini, di bawah terik lampu sorot rekonstruksi, tiga pemuda itu berdiri membisu. Tangan terborgol, kaki bergetar. Mereka nyaris tak sanggup menatap keluarga korban yang datang menuntut keadilan.
Polisi bergerak cepat. Ketiganya sudah dijerat pasal berlapis: pembunuhan berencana, pencabulan, dan tindakan kekerasan. Sementara di rumah korban, isak tangis keluarga belum benar-benar reda — suara rintihan itu seolah menggema, menjawab jeritan terakhir APSD yang tenggelam di malam sunyi.**YS**
