“Opini Tujuan Edukasi Pembaca”
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kita melihat orang begitu cepat menghakimi kesalahan orang lain, tanpa menyadari bahwa perbuatannya sendiri bisa jadi lebih tercela. Memfitnah, mencaci, bahkan merendahkan, terkadang dilakukan dengan enteng seolah itu hal wajar. Padahal, perbuatan demikian bisa lebih berbahaya daripada kesalahan yang sedang kita tudingkan kepada orang lain.
Sama halnya dalam dunia politik dan kepemimpinan. Ada yang begitu mudah menilai pemimpinnya salah, tanpa pernah menawarkan solusi yang benar. Ada yang hanya sibuk mencari celah sekecil apa pun untuk menunjukkan kelemahan seorang pemimpin, namun enggan memberikan apresiasi pada kerja nyata dan prestasi yang sudah dilakukan. Pertanyaan sederhananya: Apakah itu adil? Apakah itu mencerminkan sikap yang profesional?
Lebih jauh, sebagian orang bahkan merasa berhak menjadi hakim bagi pemimpin yang dipilih rakyat. Padahal, ada lembaga resmi yang memang diberi kewenangan untuk menilai dan memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Menghakimi pemimpin dengan cara merendahkan dan melecehkan, hanya akan membuat kita tampak sombong, seolah kitalah yang paling benar dan paling hebat.
Cobalah sejenak bercermin. Apa kontribusi nyata kita untuk negeri ini? Seberapa besar karya kita untuk masyarakat? Dan seberapa dalam ilmu yang kita miliki sehingga merasa pantas menilai, apalagi merendahkan?
Pesta demokrasi sudah selesai. Pilihan rakyat sudah ditentukan dan hasilnya sah secara hukum. Maka, sudah sepantasnya kita belajar legowo. Saatnya menghormati pemimpin yang ada, mendukung kebijakannya yang berpihak kepada rakyat, serta mengingatkan dengan bijak jika ada yang kurang tepat. Masih akan ada pesta demokrasi di periode berikutnya, dan di sanalah tempat kita menyalurkan aspirasi dengan lebih bermartabat.
Mengapa harus terus menebar kebencian? Mengapa harus menguras energi dengan mencari kesalahan tanpa dasar? Ketahuilah, pemimpin yang bekerja tidak akan terhambat oleh celaan tanpa arah. Justru yang akan merugi adalah kita sendiri, yang terus tenggelam dalam rasa benci, fitnah, dan sikap yang tidak bernilai di mata publik.
Kalau merasa mampu, buktikan dalam kompetisi nyata. Mulailah dari tingkat yang paling kecil, misalnya mencalonkan diri menjadi kepala dusun. Bekerjalah sungguh-sungguh untuk rakyat. Tunjukkan teladan. Dengan begitu, kritik yang keluar dari mulut kita akan memiliki bobot, karena lahir dari pengalaman dan pengabdian, bukan hanya dari rasa tidak suka.
Ingatlah, masyarakat kini sudah cerdas. Mereka tahu membedakan mana kritik yang sehat dan membangun, serta mana sekadar ujaran kebencian. Publik tahu siapa yang benar-benar peduli, dan siapa yang hanya mencari panggung.
Akhirnya, mari kita sadari bahwa kita hanyalah bagian dari masyarakat, yang memang memiliki hak untuk menyampaikan kritik. Tetapi kita bukan aparat penegak hukum, bukan pula hakim yang bisa memutuskan vonis. Maka, sampaikanlah kritik dengan hati yang jernih, dengan bahasa yang santun, serta dengan tujuan untuk kebaikan bersama. Karena kritik yang bijak akan menjadi cahaya, sementara hujatan tanpa dasar hanya akan menjadi kegelapan yang menenggelamkan kita sendiri.
Penulis: ****
