“Ternyata Ini Penyebab Lambannya Penanganan Kasus Korupsi di Negeri ini”.
Pematangsiantar – Medan –
Kasus dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan yang menyeret nama oknum Kanit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satreskrim Polres Pematangsiantar, kini menjadi sorotan tajam publik. Oknum perwira polisi tersebut dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sumatera Utara oleh mantan Kepala Dinas Perhubungan Kota Pematangsiantar, Drs. Julham Situmorang.
Laporan resmi dilayangkan pada tanggal 31 Juli 2025 melalui tim kuasa hukum Julham, mengingat status mantan pejabat itu kini berada dalam tahanan Rutan Kelas IIA Tanjung Gusta, Medan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pungutan liar (pungli) di lokasi parkir RS Vita Insani.
Dalam keterangannya kepada media, Parluhutan Banjarnahor, SH—anggota tim kuasa hukum Julham yang akrab disapa Prima—mengungkapkan bahwa laporan kliennya bukan tanpa dasar. Julham mengaku bahwa dirinya dimintai uang sebesar Rp 200 juta oleh oknum penyidik, dengan imbalan agar kasus yang menjeratnya dihentikan.
“Benar, klien kami Pak Julham Situmorang telah melaporkan dugaan permintaan uang dari oknum Kanit Tipikor berinisial LM sebesar Rp 200 juta,” ujar Prima pada Minggu (3/8/2025) siang.
Tidak hanya itu, menurut laporan pengaduan yang diajukan, Julham juga menyebut telah memberikan uang secara tunai sebesar Rp 5 juta setiap bulan kepada penyidik, dimulai dari bulan Mei, Juni, dan Juli 2024. Total setidaknya Rp 15 juta telah diserahkan dengan harapan agar perkara pungli yang menjeratnya diselesaikan secara kekeluargaan.
“Pemberian uang dilakukan secara cash, bukan melalui transfer. Ini adalah bagian dari tekanan agar kasusnya tidak dinaikkan ke penyidikan,” sambung Prima.
Julham juga menegaskan bahwa dirinya telah menunjukkan iktikad baik dengan mengembalikan dana pungli parkir RS Vita Insani ke kas negara sebesar Rp 48,6 juta, namun hal itu tidak menghentikan proses hukum. Malahan, menurutnya, penetapan status tersangka terjadi setelah dirinya menolak permintaan uang dalam jumlah besar yang diminta oleh penyidik.
“Karena saya tidak memberikan uang yang diminta sebesar Rp 200 juta, kemudian saya ditetapkan sebagai tersangka,” demikian isi pengakuan Julham dalam surat laporan pengaduannya.
Langkah pelaporan ke Propam Polda Sumut ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan hukum dan pembelaan atas tindakan yang dinilai menyimpang dari etika penegakan hukum. Tim kuasa hukum Julham juga menyatakan akan membawa seluruh materi dan bukti dalam laporan ini ke proses persidangan untuk membuka dugaan praktek kotor di balik proses penyidikan perkara klien mereka.
Munculnya laporan ini tentu menambah panjang daftar sorotan masyarakat terhadap oknum penegak hukum yang diduga menyalahgunakan jabatannya demi keuntungan pribadi. Praktik semacam ini dinilai menjadi salah satu penyebab utama mengapa pemberantasan korupsi di daerah kerap berjalan di tempat.
Lembaga pengawas internal seperti Propam Polda Sumut diharapkan segera merespons laporan tersebut dengan tindakan tegas dan terbuka agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian tetap terjaga. Apalagi, tuduhan yang dilayangkan melibatkan oknum penyidik dari satuan khusus yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Sejumlah pihak mendesak agar proses pemeriksaan terhadap laporan ini dilakukan secara transparan, adil, dan profesional, tanpa intervensi dari pihak manapun. Bila terbukti bersalah, sanksi pidana dan etik harus ditegakkan kepada oknum aparat yang diduga melakukan pemerasan.
Kasus ini pun menjadi bukti nyata bahwa penegakan hukum tidak boleh hanya menindak rakyat kecil, tetapi juga harus berani membongkar praktik-praktik korup di tubuh aparat penegak hukum itu sendiri. (Sumber informasi: dilansir dari Media Tribun Medan).
