Pagi itu, udara Pati yang biasanya teduh berubah tebal oleh spanduk, peluit, dan pengeras suara. Di simpang-simpang jalan, massa datang berombongan: petani, pedagang, buruh, mahasiswa, emak-emak yang menggandeng anaknya. Mereka membawa satu tema besar: menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang melonjak drastis. Di tengah suhu politik yang meninggi, nama Bupati Pati, Sudewo, menjadi pusat pusaran: dipuji sebagai pemimpin yang ingin memperkuat fiskal daerah, namun juga dikecam karena sikap yang dinilai arogan dalam merespons penolakan warga. Puncaknya, pada 13–15 Agustus 2025, Pati mencatat salah satu gelombang aksi protes terbesar dalam sejarahnya.
Artikel ini merangkai ulang kronologi sejak gagasan kenaikan pajak disiapkan, keputusan diumumkan, hingga prahara sosial-politik yang mengikutinya—berdasarkan pemberitaan sejumlah media nasional dan regional, serta pernyataan pejabat terkait.
Pijakan awal kisruh Pati berangkat dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati menaikkan PBB-P2 sekitar 250 persen. Dalam penjelasan yang merekam rekam jejak keputusan itu, Tempo menyebut 18 Mei 2025 sebagai momentum ketika Pemkab Pati memutuskan arah kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen. Argumen yang mengemuka: perlunya penguatan pendapatan asli daerah (PAD) setelah bertahun-tahun penyesuaian tak optimal.
Belakangan, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mengungkap bahwa kajian kebijakan belum memadai. Ia menilai kenaikan sebesar itu tidak disertai kajian komprehensif dan meminta pembatalan, sembari menugaskan Pemprov melakukan asistensi dan meminta laporan evaluasi dalam sepekan. Pernyataan Luthfi ini mempertegas problem prosedural sekaligus komunikasi kebijakan di hulu.
Di sisi Pemkab, narasi yang berkembang adalah kebutuhan menutup berbagai kewajiban belanja dan meningkatkan daya fiskal. Namun di hilir, publik bertemu fakta di surat ketetapan pajak yang melonjak: angka-angka PBB yang tadinya ratusan ribu melonjak berlipat, menabrak daya beli banyak rumah tangga. Daya kejut tersebut—alih-alih memancing dialog—malah menyulut resistensi yang cepat meluas di media sosial dan ruang-ruang warga.
Kemarahan warganet dan warga semakin menjadi-jadi setelah beredar video sang bupati menanggapi rencana aksi penolakan. Potongan ucapannya, yang inti pesannya menantang massa untuk datang berdemo, dianggap publik sebagai sinyal arogansi. Video semacam itu terekam dan diberitakan, memicu efek bola salju: dari percakapan grup keluarga dan RT, merembet ke akun-akun media sosial lokal, lalu menjadi topik arus utama. Detik menulis, video tantangan itu beredar luas mendahului rencana aksi 13 Agustus 2025.
Pada titik ini, substansi fiskal terseret arus psikologi massa. Persoalan pajak yang awalnya bisa dinegosiasikan melalui mekanisme keberatan, pengurangan, atau penjadwalan ulang, berubah menjadi krisis kepercayaan. “Kenaikan boleh dibahas, tapi jangan melecehkan warga,” kira-kira begitu sinyal yang tersampaikan dari spanduk-spanduk di lapangan.
Menjelang pekan aksi, 8 Agustus 2025, Bupati Sudewo membatalkan kenaikan PBB 250 persen. Tarif pun dikembalikan seperti tahun 2024. Secara kebijakan, ini mestinya menjadi katup pelepas tekanan. Namun di lapangan, bola protes sudah telanjur menggelinding: pembatalan dinilai terlambat dan tidak membatalkan luka komunikasi yang terlanjur menganga. Aksi besar tetap berlangsung.
Dalam diskursus publik, pembatalan diperlakukan sebagai bukti bahwa penolakan warga valid. Tetapi sebagian massa membawa tuntutan lebih jauh: meminta bupati mundur karena dinilai tak sensitif, tidak transparan, dan “arogan”. Di hari-hari berikutnya, panggung politik tingkat provinsi dan pusat turun tangan, membuat Pati mendadak jadi sorotan nasional.
Pagi Rabu, 13 Agustus 2025, berbagai elemen masyarakat berkumpul di titik-titik aksi. Aksi besar ini terdokumentasi luas. Tirto merangkum momen panas hari itu, termasuk insiden kericuhan yang berujung pembakaran kendaraan dan gas air mata. Di lapangan, tuntutan tidak lagi semata pajak: muncul desakan agar bupati meminta maaf secara terbuka dan mundur, serta kritik terhadap sederet kebijakan lain yang dianggap bermasalah.
Sumber lain memotret besaran massa secara berbeda—wajar dalam dinamika aksi—namun konvergen pada fakta inti: gelombang protes besar menolak kenaikan PBB dan mempersoalkan sikap kepala daerah. Bisnis.com menulis kronologi aksi besar tersebut dan menegaskan bahwa pembatalan pajak tak serta merta meredakan kemarahan publik. Dalam laporan yang lain, mereka juga menyebut estimasi massa ribuan orang dengan aksi yang sebagian berlangsung damai, sebagian lain memanas.
Dari sisi ilmu kebijakan, KPPOD menilai tuntutan warga yang meminta bupati mundur sebagai hal yang “masuk akal” jika dilihat dari eskalasi resistensi akibat proses kebijakan yang buruk serta komunikasi yang kontra-produktif. Penilaian ini tidak bersifat legal-formal, namun menggambarkan persepsi tata kelola yang menjadi sumber krisis legitimasi.
Setelah eskalasi 13 Agustus, pemerintah pusat dan provinsi turun tangan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegur Bupati Pati dan berkomunikasi pula dengan Gubernur Jawa Tengah mengenai tata cara penetapan kebijakan daerah. Titik tekan Mendagri—menurut pemberitaan—berkisar pada mekanisme dan dampak sosial dari kebijakan yang melompat. Di saat yang sama, Gubernur Ahmad Luthfi kembali menegaskan perlunya kajian dan meminta pembinaan kepada Pemkab Pati agar fokus pada kemampuan bayar masyarakat.
Di ruang politik, gelombang koreksi juga datang dari partai politik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Budisatrio Djiwandono, menegaskan adanya teguran keras partai kepada Bupati Pati atas kebijakan yang memicu kegaduhan. Ini menambah tekanan moral dan politik terhadap kepala daerah di tengah prahara.
Secara prosedural, wacana hak angket DPRD menyeruak untuk menyelidiki praktik dan kebijakan kontroversial. Hukumonline bahkan ikut mengulas tata cara pemakzulan kepala daerah, menunjukkan betapa seriusnya pembicaraan publik mengenai akuntabilitas dan jalan keluar konstitusional apabila krisis legitimasi berlarut. Pada 15 Agustus 2025, diskursus hukum dan politik ini masih hidup—dengan sorotan pada koridor prosedural agar tekanan publik tetap terkelola secara konstitusional.
1. Lompatan Tarif dan Daya Kejut
Kenaikan 250 persen bukan sekadar angka; ia adalah guncangan psikologis di rumah tangga yang sedang bergulat dengan pemulihan ekonomi. Sekalipun ada klaim bahwa pajak bertahun-tahun tidak disesuaikan, publik merasa prosedur dan ritmenya tidak dijelaskan pelan-pelan. Ketika surat ketetapan tiba dengan nominal yang melompat, kepercayaan retak. Kronologi media arus utama memperlihatkan bagaimana keputusan itu dipersepsikan sebagai kebijakan yang melampaui daya terima sosial.
2. Komunikasi Kebijakan yang Tersendat
Perkara fiskal kerap bisa diselesaikan dengan kanal teknis: keberatan, pengurangan, pembebasan bagi kelompok rentan, atau penerapan bertahap. Namun ketika komunikasi publik memunculkan kesan tantangan terhadap demonstrasi, isu teknis berubah menjadi konflik identitas dan harga diri warga. Inilah yang mempercepat mobilisasi massa di 13 Agustus.
3. Koreksi dari Atas, Validasi dari Bawah
Begitu Gubernur dan Mendagri turun tangan, warga mendapatkan validasi atas keluhan mereka—bahwa bukan sekadar “riuh warganet”, tetapi ada masalah tata kelola. Teguran partai politik mempertebal kesan bahwa kebijakan tersebut keluar dari “sumbu normal” praktik pemerintahan daerah. Dalam dinamika krisis, validasi seperti ini memperkuat legitimasi moral gerakan protes.
12 April 2025 – Pemkab Pati mengajukan rencana kenaikan PBB-P2 ke Pemprov Jateng (versi Gubernur). 22 April 2025, Biro Hukum memberi tanggapan; belakangan Gubernur menyatakan kajian belum final dan menganjurkan pembatalan.
18 Mei 2025 – Tempo mencatat keputusan Pemkab menaikkan PBB-P2 250%.
Awal Agustus 2025 – Polemik meledak, pemberitaan mengenai lompatan PBB-P2 merebak; wacana aksi 13 Agustus menguat.
8 Agustus 2025 – Bupati membatalkan kenaikan 250%; tarif kembali ke 2024.
13 Agustus 2025 – Aksi besar di Pati; sebagian titik memanas hingga benturan; tuntutan melebar ke desakan mundur dan evaluasi kebijakan lain.
14 Agustus 2025 – Mendagri menegur Bupati Pati; Gubernur minta pembinaan dan kajian; suhu politik tetap tinggi.
15 Agustus 2025 – Diskursus hak angket dan prosedur pemakzulan mengemuka di ruang publik; partai politik menyampaikan teguran.
Kenaikan pajak selalu menyangkut kontrak sosial: warga bersedia membayar lebih jika ada kepastian layanan publik yang lebih baik, dan jika prosesnya transparan, adil, serta bertahap. Di Pati, narasi kebutuhan menambah PAD untuk menopang program prioritas tidak berhasil mengimbangi kejutan nominal di level rumah tangga. Tempo menyoroti dimensi “bola liar” yang mengikuti kebijakan ini—mendorong publik menelisik kembali struktur APBD Pati dan prioritas belanja. Dalam logika kebijakan, ini semestinya menjadi kesempatan untuk membuka data, berdialog, dan menyusun peta jalan konsolidasi fiskal tanpa menimbulkan guncangan.
Istilah “arogansi” cepat menempel pada pejabat publik ketika pilihan kata dan gestur tidak selaras dengan suasana batin warga. Pada kasus Pati, video yang beredar lebih kuat dampaknya ketimbang rilis kebijakan manapun. Di era platform, persepsi sering mengalahkan detail teknis. Di sini pelajaran pentingnya: kebijakan fiskal keras memerlukan bahasa yang lembut, tahapan yang jelas, dan jembatan empati yang kokoh.
Gubernur menegaskan benang merahnya: kebijakan harus dikaji, tidak membebani masyarakat, dan disesuaikan dengan kemampuan wilayah—serta dilaporkan progresnya dalam waktu sepekan. Formulasi itu, jika dikerjakan serius, bisa menjadi reset button untuk menyembuhkan luka sosial yang timbul.
Memasuki 15 Agustus 2025, suhu Pati belum kembali normal sepenuhnya. Di tingkat narasi, pembatalan kenaikan pajak sudah dilakukan; tetapi pemulihan kepercayaan belum. Perdebatan publik bergeser ke akuntabilitas: apakah perlu hak angket, apakah ada jalur pemakzulan, dan bagaimana pembinaan dari Pemprov dan Kemendagri akan mengantar Pati keluar dari turbulensi ini. Hukumonline mengulas koridor hukumnya; pemberitaan politik menegaskan adanya teguran dari partai pengusung; dan media arus utama merekam instruksi pembinaan dari Gubernur serta teguran Mendagri. Semuanya bersilangan menjadi satu: Pati harus kembali ke rel tata kelola yang tertib.
1. Audit dan publikasi kajian kenaikan PBB-P2: asumsi, metodologi, simulasi dampak, dan skenario alternatif. (Merespons catatan Gubernur tentang absennya kajian memadai).
2. Dialog fiskal dengan warga: sosialisasi hak keberatan, pengurangan, pembebasan bagi kelompok rentan, serta tahapan penyesuaian jika satu saat diperlukan lagi.
3. Moratorium kebijakan berbiaya sosial tinggi sampai mekanisme konsultasi publik dibenahi.
4. Restorative politics: permintaan maaf terbuka yang empatik dan rencana perbaikan yang terukur, bukan sekadar pernyataan normatif.
5. Peta jalan PAD non-pajak rumah tangga: optimalisasi aset daerah, KSO BUMD, ekstensifikasi tanpa memukul konsumsi rakyat kecil.
6. Transparansi APBD dalam bahasa publik: dashboard belanja dan hasil layanan, sehingga warga melihat “nilai balik” pajak.
7. Pelibatan perguruan tinggi/LSM sebagai pihak ketiga untuk kajian dan public hearing regular.
8. Protokol komunikasi krisis di Pemkab: siapa berbicara, kapan, dan bagaimana merespons kritik warganet agar tidak memantik “api” baru.
9. Penguatan fungsi pengawasan DPRD secara prosedural (termasuk hak angket bila perlu) untuk memulihkan check and balance tanpa menambah polarisasi.
Pada akhirnya, pajak bukan sekadar setoran—ia adalah kontrak sosial. Pemerintah daerah memerlukan anggaran untuk membayar guru, tenaga kesehatan, memperbaiki jalan, dan menata kota. Warga bersedia membayar jika kebijakan adil, bisa diprediksi, dan manusiawi. Pati memberi pelajaran mahal: angka 250 persen bukan sekadar persentase; ia adalah pesan tentang cara berkuasa dan cara mendengar. Ketika kepala daerah mengira hukum fiskal adalah matematika, warga mengingatkan bahwa ia juga adalah psikologi dan legitimasi.
Dari 18 Mei—ketika keputusan kenaikan disorot—hingga 8 Agustus saat pembatalan diumumkan, dan memuncak 13–15 Agustus kala jalanan menjadi forum raksasa, Pati melewati satu putaran ujian besar. Di ujungnya, yang tersisa bukan hanya pertanyaan “berapa pajak yang adil?”, melainkan bagaimana pemerintah dan warga bertemu di tengah, menyepakati ritme perubahan yang tidak meremukkan sendi kehidupan rumah tangga.
Pati telah “membara”—namun bara bisa jadi hangat, jika dikelola dengan tata kelola, empati, dan komitmen memperbaiki proses. Di sanalah pemulihan kepercayaan dimulai.
Detik Jateng – rangkaian kronologi A-Z, pembatalan 8 Agustus, teguran Gubernur dan Mendagri, serta konteks video “tantangan demo”.
Tempo – catatan tanggal keputusan 18 Mei 2025 dan dinamika kebijakan yang memantik bola liar.
Bisnis.com – kronologi aksi 13 Agustus dan ragam tuntutan massa.
Tirto – rangkuman aksi 13 Agustus berikut potret eskalasi di lapangan.
KompasTV – penjelasan Gubernur tentang proses pengajuan dan rekomendasi pembatalan.
KPPOD – pandangan kebijakan soal wajar-tidaknya desakan mundur dari sudut resistensi publik.
Hukumonline – konteks prosedur hak angket/pemakzulan kepala daerah.
Pernyataan politik – teguran partai kepada kepala daerah.
Catatan: beberapa media mencatat besaran massa dengan estimasi berbeda, namun seluruhnya konsisten pada fakta adanya gelombang aksi besar pada 13 Agustus dan langkah korektif pembatalan kenaikan PBB-P2 oleh Bupati Pati sebelumnya. Perbedaan angka merupakan hal lazim dalam peliputan aksi dan tidak mengubah garis besar kronologi.
Editor: Redaksi TD.
