Jakarta — Kamis sore, 28 Agustus 2025. Langit Jakarta belum sepenuhnya gelap, tapi udara di depan Gedung DPR RI sudah terasa berat. Asap pekat dari tumpukan sampah yang dibakar menjulang, bercampur dengan teriakan lantang mahasiswa yang menggetarkan pagar tinggi parlemen.
Di barisan paling depan, puluhan mahasiswa menggenggam benda yang tak asing dalam sejarah bangsa: bambu runcing. Senjata sederhana, simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah. Bedanya, kali ini bukan Belanda atau Jepang yang dihadapi, melainkan lembaga yang seharusnya mewakili suara rakyat: DPR RI.
“Kami datang bukan untuk diam, kami datang untuk melawan!” teriak seorang mahasiswa melalui pengeras suara, disambut pekikan ribuan suara yang bergelora.
Di antara lautan massa, bendera Merah Putih berkibar berdampingan dengan panji organisasi mahasiswa. Ada juga bendera ormas MKGR merah-oranye yang ikut menghiasi barisan. Tiang-tiang bendera itu bukan tiang biasa; bambu dan potongan pipa besi yang mereka kumpulkan di sekitar flyover Ladokgi, kini menjelma menjadi penopang simbol perlawanan.
Sejak awal, suasana sudah penuh ketegangan. Menurut laporan yang dilansir dari media Kompas.com, mahasiswa datang beberapa saat setelah massa buruh bubar. Tanpa jeda, mereka langsung menyatu, meneruskan denyut demonstrasi di Senayan. Semakin sore, suara yel-yel makin mengeras, orasi makin menusuk.
“DPR tidak lagi mewakili rakyat, DPR harus dibubarkan!” teriak seorang orator dari atas mobil komando.
Di pagar depan, aksi semakin liar. Bambu runcing dilemparkan, botol air mineral beterbangan, dan kobaran api dari sampah menyulut asap hitam pekat yang menggulung ke langit. Lagu perjuangan “Buruh Tani” pun menggema, dinyanyikan lantang, seperti mantra perlawanan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun di balik gegap-gempita itu, ada satu pertanyaan menggantung di udara: mengapa mahasiswa harus kembali mengangkat bambu runcing di era reformasi, di depan lembaga yang seharusnya mendengar mereka?
Hingga sore itu, tak ada satu pun wakil rakyat yang keluar menemui. Seakan gedung parlemen benar-benar menjadi benteng yang rapat, kedap dari jerit suara rakyat di luar.
Demonstrasi 28 Agustus 2025 ini bukan sekadar kericuhan biasa. Ia adalah simbol dari krisis kepercayaan. Ketika suara mahasiswa harus diukir dengan api dan bambu runcing, bukankah itu pertanda DPR telah kehilangan makna sebagai rumah rakyat? (Bang Yopi).
