Para Kades Kecewa di Puncak HUT OKU ke-115, Ini Informasi Selengkapnya 

Para Kades Kecewa di Puncak HUT OKU ke-115, Ini Informasi Selengkapnya 

Daerah Peristiwa
Spread the love

OGAN KOMERING ULU – Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) ke-115 yang digelar secara megah pada 29 Juli 2025 menyisakan kekecewaan mendalam di kalangan Kepala Desa (Kades) se-Kabupaten OKU. Alih-alih menjadi momen membanggakan, acara yang digadang-gadang sebagai puncak perayaan tersebut justru meninggalkan rasa kecewa yang mendalam bagi para pemimpin desa yang hadir dengan penuh semangat dan harapan.

Puluhan kepala desa yang tergabung dalam DPC Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) OKU hadir dengan mengenakan pakaian resmi lengkap, jas dan tanjak—atribut kebanggaan yang mencerminkan semangat dan wibawa pemimpin desa. Namun sayangnya, setibanya di lokasi acara, para Kades merasa diperlakukan tidak semestinya. Tidak ada tempat duduk yang disediakan secara khusus, bahkan petunjuk atau protokol pun tidak tampak untuk mengarahkan mereka.

“Kami datang dengan niat baik, mewakili desa masing-masing, dengan pakaian lengkap, namun tidak ada tempat duduk yang disiapkan. Kami terpaksa berdiri dan bingung mencari posisi duduk. Ini sungguh mengecewakan,” ujar salah satu Kades yang enggan disebut namanya.

Ketua DPC APDESI OKU, RM Delys Ardo, SH, secara terbuka menyuarakan kekecewaan tersebut. Menurutnya, setidaknya ada lima poin utama yang mencerminkan perlakuan tidak layak kepada para kepala desa dalam acara tersebut:

1. Tidak Ada Tempat Duduk Khusus: Para Kades tidak mendapat tempat duduk yang layak, meskipun mereka hadir atas undangan resmi.

2. Tidak Ada Protokol Penyambutan: Tidak satu pun petugas yang mengarahkan atau menyambut kedatangan mereka di lokasi acara.

3. Terabaikan dalam Acara Resmi: Dalam agenda utama, tidak ada penyebutan atau penghargaan simbolik bagi para kepala desa.

4. Kurangnya Komunikasi dan Koordinasi: Sebelum acara, tidak ada pemberitahuan teknis tentang posisi duduk atau kehadiran protokoler.

5. Tidak Ada Pengakuan atas Peran Kades: Tidak disinggung sama sekali kontribusi desa dan para Kades dalam pembangunan OKU.

“Kami bukan meminta dilayani seperti tamu agung. Tapi setidaknya diberikan penghormatan sebagai mitra pemerintah daerah yang telah bekerja keras membangun dari desa,” tegas Delys dengan nada kecewa.

Pengedar Sabu Asal PALI Diciduk di Prabumulih, Polisi Sita 30 Gram Barang Bukti

Karena merasa diabaikan, beberapa Kades memilih meninggalkan lokasi sebelum acara selesai. Mereka menilai tidak ada alasan untuk tetap tinggal jika kehadiran mereka tidak dihargai. Momen yang seharusnya menjadi kebanggaan, justru berubah menjadi luka kolektif bagi para kepala desa.

“Kami datang bukan untuk jalan-jalan. Kami tinggalkan aktivitas di desa, berangkat pagi-pagi dengan biaya sendiri, tapi malah seperti ini perlakuannya. Akhirnya saya pulang lebih dulu karena kecewa,” ucap salah satu Kades dari wilayah OKU Timur.

Hari jadi ke-115 Kabupaten OKU seharusnya menjadi ruang kolaboratif, mempererat ikatan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah desa. Namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan kurangnya perhatian terhadap stakeholder terdekat dengan masyarakat, yakni kepala desa.

Kepala desa adalah ujung tombak pelayanan publik di tingkat bawah. Mereka adalah garda depan dalam pelaksanaan program pemerintah pusat maupun daerah. Dalam berbagai situasi, seperti pandemi, krisis ekonomi, hingga program pembangunan infrastruktur desa, kepala desa adalah aktor sentral.

“Kalau hari jadi seperti ini saja kami tak dianggap, lalu kapan kami dipandang penting? Ini bukan soal kursi, tapi soal penghargaan,” keluh Delys lagi.

Dalam pesan yang disampaikan ke berbagai grup komunikasi internal pemerintahan desa, Delys berharap kritik ini dijadikan masukan konstruktif, bukan dianggap sebagai bentuk pembangkangan atau provokasi.

“Kami menyuarakan aspirasi, bukan menyulut polemik. Jika ada yang menyampaikan dengan nada tinggi, itu karena kecewa dan merasa tak dihargai. Kita berharap ke depan ada perbaikan, khususnya dalam tata cara penyambutan dan penghargaan kepada para Kades,” tambahnya.

Acara pemerintahan, terlebih yang bertajuk kenegaraan seperti HUT daerah, harusnya dikelola dengan perencanaan matang. Kehadiran kepala desa bukan hanya simbolis, tapi juga strategis. Tanpa protokol penyambutan, arahan tempat duduk, atau bentuk penghormatan sederhana seperti penyebutan nama organisasi, maka wajar jika muncul kekecewaan.

Pemerintah daerah melalui bagian protokoler dan panitia penyelenggara seyogianya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem koordinasi dan komunikasi internal. Tidak cukup hanya menyiapkan panggung megah dan susunan acara, tapi perlu juga memperhatikan siapa saja yang diundang dan bagaimana memperlakukan mereka secara layak.

Sebagai organisasi resmi kepala desa, APDESI DPC OKU akan segera melakukan evaluasi internal dan kemungkinan mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Kabupaten OKU. Surat ini nantinya akan memuat poin-poin kekecewaan serta saran untuk perbaikan tata kelola acara serupa.

“Kami bukan hanya mengkritik, tapi juga menawarkan solusi. Misalnya, cukup tempatkan satu baris kursi khusus di bagian tengah, sebutkan nama APDESI OKU di awal acara, dan siapkan satu petugas yang menyambut kami di pintu masuk. Itu saja sudah cukup bagi kami merasa dihargai,” ujar Delys.

Peringatan HUT Kabupaten OKU ke-115 adalah sejarah. Tapi bagaimana sejarah itu ditulis dan dikenang, sangat tergantung dari bagaimana semua elemen diperlakukan di dalamnya. Jika kepala desa saja tidak merasa bagian dari sejarah tersebut, maka ada yang keliru dalam cara kita memperingati.

Harapan besar datang dari para Kades agar di masa mendatang, pemerintah daerah lebih terbuka mendengarkan masukan, menjadikan acara-acara resmi sebagai ruang bersama, dan menghargai semua elemen tanpa kecuali.

“Kita ingin agar peringatan HUT ke-116 nanti bisa menjadi panggung kebersamaan, bukan panggung eksklusif yang melupakan peran akar rumput,” tutup Delys Ardo.

Kekecewaan para Kepala Desa di OKU bukanlah sekadar drama emosional, melainkan sinyal keras akan perlunya reformasi tata hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah desa. Jika ingin membangun dari pinggiran sebagaimana semangat Nawacita, maka pengakuan, penghargaan, dan keterlibatan kepala desa tidak boleh dikesampingkan.

Peringatan HUT OKU ke-115 telah berlalu. Namun pelajaran dari perayaan ini harusnya menjadi titik tolak perubahan yang lebih inklusif dan manusiawi ke depannya. Karena pembangunan sejati bukan hanya tentang infrastruktur dan angka, tetapi tentang rasa memiliki dan keterlibatan setiap pemangku kepentingan.(RJ).