JAKARTA — Suasana di lobi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat siang itu tampak sedikit berbeda dari biasanya. Beberapa wartawan tampak menunggu di kursi panjang dekat pintu keluar, menanti kepastian kabar bahwa mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong — yang akrab dikenal publik sebagai Tom Lembong — akan menempuh jalur banding.
Di luar gedung, cuaca terik tak menghalangi sorotan publik. Sejak sidang putusan yang digelar Jumat (18/7/2025), nama Tom kembali menjadi perbincangan. Bukan semata karena vonisnya, tetapi juga karena figur Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, yang terlihat mendampingi Tom keluar dari ruang sidang. Gambar keduanya berdiri berdampingan diabadikan kamera pewarta dan seketika memenuhi linimasa media sosial.
Majelis hakim Tipikor memutuskan Tom bersalah melakukan korupsi terkait kebijakan impor gula semasa ia menjabat Mendag. Vonisnya: penjara empat tahun enam bulan ditambah denda Rp750 juta. Jika denda tak dibayar, maka kurungan enam bulan menanti.
Hukuman ini jauh di bawah tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) yang sebelumnya meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun. Tak pelak, putusan ini memicu gelombang komentar. Kejaksaan Agung pun menyatakan sikap: banding.
7 Item Proyek di PALI Resmi dilaporkan dan diterima KPK. Salah Satunya Proyek Drainase Handayani
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Anang Supriatna, memastikan upaya hukum banding akan diajukan secepatnya. Menurutnya, putusan hakim belum mencerminkan rasa keadilan publik, apalagi di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang kian mendapat sorotan.
“Saya pastikan jaksa tidak akan berhenti sampai di sini. Banding adalah langkah yang diambil untuk menegakkan rasa keadilan. Vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa bukan akhir,” kata Anang, Selasa (22/7/2025), di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Anang juga menegaskan pihaknya menghormati langkah tim kuasa hukum Tom Lembong yang memilih jalur banding pula. Baginya, upaya banding dari kedua belah pihak sah-sah saja karena diatur undang-undang. “Itu hak terdakwa, hak penuntut umum juga. Negara menjamin melalui konstitusi,” tambahnya.
Gedung DPRD PALI Megah Luar Kusut Dalam, Pemkab PALI Tak Ada Tindakan
Nama Thomas Trikasih Lembong tak asing di telinga publik. Eks bankir, mantan Kepala BKPM, hingga menjabat Menteri Perdagangan di era Presiden Joko Widodo periode pertama. Ia kerap dipandang sebagai teknokrat bersih, cerdas, dan berorientasi global.
Tapi bayang-bayang bersih itu memudar ketika Kejaksaan Agung menetapkan Tom sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor gula. Jaksa menduga Tom menandatangani izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) untuk delapan perusahaan swasta yang tak memiliki izin mengolahnya menjadi Gula Kristal Putih (GKP).
Tak berhenti di situ, kebijakan Tom menunjuk koperasi non-BUMN dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai pelaksana impor gula dinilai menyalahi aturan. Harga pembelian gula pun ditetapkan di atas Harga Patokan Petani (HPP). Akibatnya, harga gula di pasar domestik justru tetap tinggi — jauh dari semangat stabilisasi yang seharusnya diemban pemerintah.
Dalam surat dakwaan, kerugian negara akibat praktik ini ditaksir mencapai Rp515,4 miliar. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan mencatat total kerugian yang lebih besar, yakni Rp578,1 miliar.
Nestapa Honorer di Bumi Serepat Serasan Yang Terbuang Setelah Mengabdi
Poin menarik dari pembacaan putusan Jumat lalu datang dari penjelasan hakim anggota Alfis Setiawan. Di hadapan ruang sidang yang sunyi, Alfis dengan nada tegas memaparkan alasan yang memberatkan terdakwa.
Menurut hakim, Tom, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan, lebih mengutamakan prinsip ekonomi pasar yang menguntungkan segelintir pengusaha dibanding menjalankan amanah konstitusi, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat berlandaskan keadilan sosial.
“Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di bidang perdagangan, terdakwa seharusnya menegakkan sistem demokrasi ekonomi sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Tapi faktanya, ia justru terkesan mendukung sistem ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan kelompok tertentu,” kata Alfis.
Bukti paling nyata, lanjut Alfis, terlihat dari kebijakan impor gula yang gagal menurunkan harga jual gula kristal putih di pasaran. Berdasarkan data yang dibacakan di persidangan, harga rata-rata gula kristal putih pada Januari 2016 masih di angka Rp13.149 per kilogram. Alih-alih turun, harga justru naik menjadi Rp14.213 per kilogram pada Desember 2019.
Hakim juga menyebut Tom tak menggunakan dasar hukum dan peraturan perundang-undangan secara optimal saat memutuskan kebijakan impor. Padahal, gula merupakan kebutuhan pokok yang erat kaitannya dengan stabilitas sosial masyarakat.
Tersangka Korupsi di Tubuh PMI Muara Enim Segera Dipublikasikan
Persidangan Tom Lembong menjadi potret kecil betapa peliknya urusan pangan di negeri ini. Impor, yang semestinya jadi instrumen pengaman pasokan, kerap dijadikan celah permainan rente.
Di pasar tradisional, harga gula menjadi barang pembicaraan yang tak kunjung usai. Ketika harga beranjak naik, yang paling merasakan dampaknya tentu rakyat kebanyakan. Pedagang kecil, ibu rumah tangga, hingga industri makanan skala rumahan jadi korban domino.
Tak jarang, isu stabilisasi harga gula muncul di tahun-tahun politik. Data Kementerian Perdagangan mencatat kebutuhan konsumsi gula nasional rata-rata mencapai 2,8 juta ton per tahun. Produksi domestik kerap tak cukup menutup kebutuhan tersebut. Di sinilah pintu impor dibuka — namun di sinilah pula celah korupsi sering muncul.
Bagi banyak kalangan, kasus Tom Lembong adalah alarm bahwa tata kelola pangan Indonesia belum benar-benar steril dari kepentingan terselubung. Dalam beberapa forum diskusi, para pengamat menilai perkara ini bukan sekadar soal pelanggaran prosedur, tetapi juga refleksi konflik nilai: antara cita-cita Pasal 33 UUD 1945 dan realitas bisnis pangan yang dikuasai segelintir kongsi.
Dokter Gigi Digerebek Suami di Kos Lubuklinggau, Diduga Berselingkuh dengan Pria Muda
Setelah putusan, kubu Tom Lembong tak tinggal diam. Tim penasihat hukumnya berpendapat bahwa kliennya hanya menjalankan kebijakan pemerintah kala itu, demi menjaga stok pangan dan stabilitas harga di dalam negeri. Mereka menilai tidak ada unsur memperkaya diri atau kelompok tertentu secara ilegal.
“Pak Tom selalu transparan, keputusan beliau diambil untuk kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi. Kita akan tempuh jalur banding karena meyakini masih ada fakta yang perlu dipertimbangkan,” ujar seorang pengacara Tom kepada wartawan usai sidang.
Kini, berkas permohonan banding pun disiapkan Kejaksaan dan tim kuasa hukum Tom. Proses ini akan menentukan apakah vonis empat tahun enam bulan akan diperberat atau justru diperingan. Di luar ruang sidang, publik menunggu: akankah upaya banding benar-benar menjadi jalan mengembalikan rasa keadilan, atau justru membuka babak baru drama kasus impor gula?
Viral Guru Tinju Cermin Gegara Ditegur Absensi, Fasilitas Sekolah Jadi Sasaran Amarah
Kasus Tom Lembong menambah deretan perkara korupsi pangan yang menjerat pejabat tinggi negeri ini. Sebelum Tom, beberapa pejabat Kementerian Pertanian dan Perdagangan juga pernah terjerat perkara serupa: memainkan kuota impor, meraup rente di tengah kebutuhan rakyat akan pangan pokok.
Bagi Kejaksaan, banding kali ini bukan sekadar ritual prosedural. Lebih dari itu, banding adalah upaya memperlihatkan bahwa negara tidak lagi mentoleransi celah penyelewengan kebijakan pangan — apalagi jika dilakukan oleh pejabat tinggi yang seharusnya mengemban amanah rakyat.
Meski begitu, di lorong-lorong pasar, pedagang kecil dan pembeli barangkali tak ambil pusing soal pasal berlapis atau perdebatan di kursi hakim. Yang mereka harapkan sederhana: gula tersedia, harga wajar, dan keadilan hukum benar-benar ditegakkan.
Bagi Tom Lembong, vonis ini barangkali jadi catatan paling pahit dalam karier panjangnya sebagai pejabat publik. Sementara bagi publik, kasus ini bisa jadi pengingat: kebijakan pangan tak sekadar urusan logistik, melainkan juga urusan moralitas.
Dan hingga palu putusan banding diketuk, manis-pahit urusan gula di negeri ini akan terus menjadi cerita panjang — di ruang sidang, di meja makan rakyat, dan di benak mereka yang masih percaya, keadilan itu seharusnya tak bisa dibeli. (Red – TD).
