Satu Malam Pejabat Ganti PPK Tunjuk Vendor Chromebook, Kasusnya Masih Bergulir 

Satu Malam Pejabat Ganti PPK Tunjuk Vendor Chromebook, Kasusnya Masih Bergulir 

Nasional
Spread the love

JAKARTA — Di balik proyek ambisius pengadaan laptop berbasis Chromebook untuk jutaan siswa Indonesia, terungkap sebuah drama pergantian pejabat pembuat komitmen (PPK) dan penunjukan vendor yang berlangsung hanya dalam hitungan jam, di satu malam, di sebuah hotel di Jakarta.

Cerita bermula pada 30 Juni 2020, di Hotel Arosa. Malam itu, dua direktur di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sri Wahyuningsih (Direktur Sekolah Dasar) dan Mulyatsyah (Direktur SMP) — mendapat arahan langsung dari Menteri Pendidikan kala itu, Nadiem Makarim, untuk memastikan program pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menggunakan sistem operasi Chrome OS.

Dijabarkan pada Selasa 15 Juli 2025 Oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul Qohar, Sri Wahyuningsih tak segan mengganti PPK lama bila dianggap tidak patuh dengan instruksi pimpinan. Bambang Hadi Waluyo, pejabat PPK Direktorat SD yang kala itu masih memegang kendali teknis, dipanggil dan diberi tugas untuk menindaklanjuti perintah Nadiem. Namun, tak sampai hitungan jam, Bambang dicopot di tempat. Posisinya digantikan Wahyu Hariadi tepat pada pukul 22.00 WIB malam itu juga.

Perintah pun turun. Wahyu diminta meneken penunjukan langsung PT Bhinneka Mentari Dimensi sebagai penyedia 1,2 juta unit laptop Chromebook. Sumber anggarannya tak main-main: Rp 9,3 triliun yang diambil dari APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Satuan Pendidikan.

Tak hanya mengganti PPK, Sri juga meminta metode pengadaan diubah dari e-katalog menjadi Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). Petunjuk pelaksanaan pun dirombak agar sejalan dengan keinginan “atasan”. Hal serupa terjadi di jajaran Direktorat SMP di mana Mulyatsyah memerintahkan Harnowo Susanto, PPK lain, untuk langsung “klik” vendor yang sama, Bhinneka Mentari Dimensi pada malam itu juga.

Langkah kilat ini dinilai menabrak prosedur. Kejaksaan Agung menyebut, penunjukan vendor tunggal tanpa persaingan sehat melemahkan transparansi. Apalagi, dalam praktiknya, laptop Chromebook yang diidamkan pemerintah justru terbengkalai di sekolah-sekolah. Faktanya, sistem operasi Chrome OS sangat bergantung pada jaringan internet stabil. Sementara itu, banyak daerah terpencil di Indonesia masih kesulitan sinyal. Laptop canggih pun berdebu di sudut ruang kelas.

Kasus ini kini membelit empat orang: mantan Staf Khusus Mendikbudristek Jurist Tan, eks Konsultan Teknologi Ibrahim Arief, serta dua direktur di lingkungan Kemendikbudristek, Mulyatsyah dan Sri Wahyuningsih. Para tersangka dijerat pasal tindak pidana korupsi karena diduga merugikan negara hingga Rp 1,98 triliun.

Tak berhenti di situ. Dalam sidang pemeriksaan, terungkap pula grup Whatsapp dengan nama “Mas Menteri Core Team”, yang disebut-sebut sebagai ruang komunikasi internal tim dekat Nadiem Makarim, tempat skema Chromebook ini pertama kali digodok bahkan sebelum Nadiem resmi menjabat menteri. Diduga, di ruang percakapan inilah muncul ide pengadaan laptop massal dengan OS buatan Google tersebut.

Meski demikian, hingga kini posisi hukum Nadiem Makarim masih sebatas saksi. Kejagung menyatakan, peran sang mantan menteri terus didalami, termasuk kaitannya dengan investasi Google ke Gojek perusahaan rintisan yang membesarkan nama Nadiem sebelum menjadi pejabat negara.

Kini publik menanti: apakah pengusutan akan menjangkau aktor intelektual yang diduga memberi arahan, atau berhenti di tingkat pelaksana teknis yang “disuruh” menandatangani di malam hari? Yang pasti, di mata publik, laptop Chromebook ini sudah menjadi simbol ironi proyek digital: digembar-gemborkan mendukung pendidikan, tetapi malah menambah daftar panjang kasus korupsi di republik ini.

Program TIK yang seharusnya memajukan kualitas pembelajaran di sekolah justru menorehkan kerugian besar dan menguap sebagai barang tak berguna. Di lapangan, banyak guru dan siswa terpaksa tetap menggunakan perangkat lama atau mengandalkan ponsel pribadi untuk mengakses materi belajar online.

Kisah ini mengingatkan publik betapa rawannya proyek pengadaan barang/jasa yang nilainya triliunan rupiah jika pengawasan lemah, pengambilan keputusan dipaksakan, dan integritas pejabat publik runtuh di meja rapat dan kamar hotel.

Kejagung memastikan kasus ini akan terus dikembangkan. Sejumlah nama baru bisa saja menyusul jadi tersangka. Sementara publik berharap, siapapun yang terlibat entah eksekutor teknis atau perencana di belakang layar tak luput dari jerat hukum.(Tim).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *