Sumatera Selatan— Di setiap jengkal ruang kantor pemerintahan di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), ada tapak jejak kaki yang tak pernah dicatat. Ada jejak tangan yang telah menulis laporan, mengetik surat, merapikan berkas, menyiapkan kopi, hingga menghidupkan lampu di kala kantor masih gelap menjelang pagi.
Mereka bukan pejabat, bukan ASN yang tertera di data induk kepegawaian. Mereka hanya disebut tenaga honorer. Sebutan yang, entah sejak kapan, menjadi pengganti kata pengabdi tanpa pamrih. Mereka menunggu gaji kecil saban bulan yang kadang terlambat datang. Namun kini, nasib lebih perih menjemput mereka, pemberhentian tanpa kepastian, perpisahan tanpa penghargaan.
Sekira 1.400 tenaga honorer di bumi PALI, Serepat Serasan harus menelan pil pahit kebijakan. Surat Edaran Sekretariat Daerah dengan Nomor 800/3668/BKPSDM-1/2025 dan 800/3680/BKPSDM-1/2025 menjadi lonceng perpisahan. Lonceng yang berdentang pelan di ruang-ruang kantor kecamatan, badan, dinas yang selama ini mereka rawat dengan keringat.
Kebijakan itu berbunyi lugas. Berdasarkan Undang-Undang ASN yang baru, penataan pegawai non-ASN wajib diselesaikan paling lambat Desember 2025. Pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN lagi. Dan yang tak lulus seleksi PPPK, tak diizinkan pula bertahan di kursi kerjanya.
Maka habislah sudah. Bertahun-tahun mereka duduk di meja kerja, menyalakan komputer, menulis sambil menahan lapar di tanggal tua, menebalkan senyum walau gaji kadang tak seberapa, semua itu tak cukup membela mereka agar diakui setara.
Di sebuah kantor pemerintahan di Kabupaten PALI seorang petugas honorer berdiri memandangi ruang kerja yang sudah bertahun-tahun ia duduki, dengan tangannya gemetar Ia berkata kepada awak media, “kami tak boleh lagi masuk” dia tak sanggup membayangkan minggu depan. Di balik gorden jendela, cahaya pagi masuk, menimpa meja-meja kayu yang masih penuh tumpukan berkas.
“ini bukan lagi tempat kami para pengabdi yang selama ini disebut Honorer,”lirihnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar di antara dentingan jarum jam dinding.
Kamis sore, 17 Juli 2025, di sudut lain, seorang tenaga admin duduk di kursi, Ia menunduk menatap telapak tangan. Jari-jarinya pernah gemetar mengetik ratusan surat perjalanan dinas, proposal, laporan kegiatan, rekap data, dokumen pertanggungjawaban. Semua itu demi jalannya roda pemerintahan yang sering kali luput diucapkan terima kasih.
Kini, satu surat edaran seolah menghapus seluruh pengabdian. Satu kalimat kebijakan memutus rantai hidupnya. Ia hanya bisa mengingat pinjaman bank yang belum lunas, sewa rumah kontrakan yang menunggu tanggal jatuh tempo, sekolah anaknya yang baru masuk kelas dua.
Kekecewaan ini semakin terasa getir karena para honorer sadar, mereka hanya dibutuhkan ketika suara sedang diperebutkan. Saat pemilu legislatif, saat pilkada, nama mereka dicatat, dirayu, disapa, dijanjikan masa depan. Tapi begitu penghitungan suara usai, kehadiran mereka tak lagi penting.
Beberapa tenaga honorer membisikkan hal ini di sudut-sudut kantor. Pelan, takut terdengar atasan. Mereka terlalu tahu resikonya. Berpendapat sering dianggap membangkang. Mengeluh bisa dianggap tidak bersyukur.
Padahal, mereka hanya ingin diakui. Hanya ingin pengabdian mereka ditimbang adil. Bukan disapu habis oleh UU, Peraturan Menteri, atau Surat Edaran yang datang bagai tamu tak diundang.
Di kantor-kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD), para kepala bidang dan kepala dinas pun tak sedikit yang merasa sesak. Betapa tidak? Mereka pun tahu, tanpa para honorer, pelayanan publik pincang. Arsip menumpuk, data tak terkelola, pelayanan administrasi tertatih.
Tapi apa daya. Di hadapan payung hukum, birokrat pun terpaksa patuh. Mereka hanya bisa memanggil satu per satu pegawai honorer, menatap mata mereka dengan kalimat perpisahan yang beku. Tak jarang, air mata jatuh diam-diam di balik meja kerja.
Di ruangan yang lain, beberapa tenaga non-ASN sempat menempelkan spanduk kecil: “Kami bukan sampah birokrasi.” Sebuah protes kecil yang takkan pernah tayang di media resmi. Protes yang akhirnya digulung, disimpan rapat, karena takut dituduh menyalahi aturan.
Di luar ruang kantor, di rumah-rumah sederhana di Talang Ubi, Penukal Utara, Abab, Tanah Abang dan Penukal bertebaran kecemasan. Sebab sebagian besar para honorer ini adalah tulang punggung. Beberapa ibu-ibu honorer harus merelakan tabungan belanja demi membayar iuran BPJS yang sebentar lagi jatuh tempo. Para bapak honorer yang selama ini merangkap kerja sambilan harus kembali menekuni ladang, mencari upah harian, atau berharap ada panggilan kerja lain yang entah datang atau tidak.
Mereka tidak cemas pada lelahnya bekerja lagi dari nol. Mereka hanya gundah pada rasa tidak dihargai. Rasa diabaikan.
Tak sedikit yang berharap, suara mereka sampai ke Bupati, ke DPRD, ke para pemimpin di Gedung Dewan. Mereka berharap ada revisi kebijakan, ada afirmasi, ada jalan tengah agar pengabdian tak serta-merta terbuang. Namun waktu berjalan cepat, sedangkan jawaban selalu sama: “Kita menunggu regulasi pusat.”
Waktu menunggu memang sering kejam bagi orang kecil. Tiap jam terasa berdetak menambah hutang, menambah kecemasan di dada.
Surat Edaran itu, jika dibaca dari awal hingga akhir, memang tersusun rapi. Kata-kata resmi berbaris sopan, disertai lampiran, nomor registrasi, tembusan ke Bupati. Tetapi di antara barisan kata itu, tak tercantum sedikit pun kata terima kasih. Tak ada kalimat permohonan maaf atau sekadar penghargaan tulus.
Padahal di luar sana, 1.400 lebih tenaga honorer adalah manusia-manusia yang rela menunda cita-cita, hanya demi tetap berada di kursi pelayanan publik. Beberapa di antara mereka punya gelar sarjana yang harus ditanggalkan di meja loker.
Beberapa dari mereka adalah anak-anak muda yang pulang ke kampung halaman, menolak gaji di kota besar hanya demi mengabdi di tanah sendiri. Beberapa adalah ibu rumah tangga yang tiap pagi berangkat lebih awal agar kantor rapi saat pejabat datang.
Sungguh, di balik angka 1.400 itu, ada ribuan cerita pengorbanan yang tak pernah tercatat di laporan keuangan daerah. Tidak ada di APBD, tidak tertulis di laporan evaluasi kinerja. Yang ada hanyalah angka belanja pegawai yang saban tahun jadi perdebatan, tapi tak pernah benar-benar membela yang kecil.
Dan hari ini, di pertengahan Juli 2025, di halaman kantor kecamatan, kantor dinas, kantor kelurahan, kantor sekretariat, para honorer saling menepuk pundak. Beberapa masih berusaha tegar, beberapa pura-pura kuat. Tapi di dalam dada, mereka membawa kepedihan yang hanya mereka sendiri yang tahu, bagaimana rasanya diusir perlahan dari rumah pengabdian.
Mereka berjalan pulang menapaki jalanan di Bumi Serepat Serasan berharap di ujung jalan masih ada pintu rezeki. Masih ada kebijakan yang lebih manusiawi.
Sebab, seburuk-buruknya kebijakan, tak seharusnya pengabdian dilupakan. Tak seharusnya jasa yang tulus diukur hanya dengan barisan kode: R2, R3, R3b, R4, R5.
Di balik kode itu, ada nama-nama manusia. Ada keluarga. Ada harapan. Ada cerita perjuangan yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, bukan hanya catatan kaki di Surat Edaran.
Dan jika ada doa yang patut dipanjatkan malam ini, mungkin doa itu sederhana, Semoga mereka yang terlupakan, suatu hari diingat kembali. Dengan cara yang lebih layak, lebih adil, lebih manusiawi. Sebab mereka pernah ada, pernah hadir, pernah berbuat, meski kini terbuang. Tim.
