Jakarta — Sorotan publik kembali tertuju pada revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas pemerintah bersama DPR. Di tengah tarik ulur pasal demi pasal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan sikap: mereka meminta pengecualian penegakan hukum agar kewenangan pemberantasan korupsi tidak terpangkas.
Di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 18 Juli 2025, Ketua KPK Setyo Budiyanto berdiri tegas di hadapan awak media. Suaranya lugas, menekankan betapa gentingnya potensi revisi KUHAP jika tidak sinkron dengan semangat pemberantasan korupsi di negeri ini.
“Ada ayat-ayat yang mengatur upaya paksa, sebaiknya bisa dikecualikan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi,” tutur Setyo membuka penjelasan.
Bukan tanpa dasar. KPK selama ini berpijak pada beberapa undang-undang kuat: UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dua undang-undang ini menjadi tulang punggung kerja Lembaga Antirasuah dalam menindak korupsi dari meja birokrat hingga lingkaran elite kekuasaan.
Namun, revisi KUHAP disebut Setyo menimbulkan celah. Ada ketentuan yang dikhawatirkan bertabrakan dengan UU Tipikor dan UU KPK, memunculkan ketidaksinkronan antara batang tubuh RKUHAP dengan pasal peralihan.
“Jangan sampai batang tubuhnya mengatur, tapi ketentuan peralihannya justru menyebutkan disesuaikan, padahal itu tidak sinkron,” tegasnya.
Tak hanya soal teknis pasal, KPK juga menyoroti proses pembahasan revisi KUHAP yang dinilai harus dijalankan secara terbuka. Transparansi, kata Setyo, menjadi jantung partisipasi publik agar revisi tidak sekadar melahirkan aturan, tetapi benar-benar memperkuat sistem hukum.
“KPK berharap proses RUU KUHAP ini disusun terbuka, transparan, dan melibatkan partisipasi banyak pihak,” ujar Setyo menambahkan.
Dalam catatan KPK, ada 17 poin dalam RKUHAP yang dianggap berpotensi mengikis kekuatan pemberantasan korupsi. Beberapa di antaranya menyangkut kewenangan KPK dalam melakukan upaya paksa, seperti penyitaan atau penggeledahan, yang berpotensi dipersempit.
Salah satu contoh konkret: pencarian bukti baru dalam perkara korupsi. Dalam revisi KUHAP, pengumpulan bukti hanya dibolehkan di tahap penyidikan. Padahal, KPK kerap menelusuri bukti sejak tahap penyelidikan, langkah krusial untuk membongkar praktik rasuah yang kian rapi menyusup di balik jalur birokrasi.
Setyo pun mengakui, ada kabar baik di tengah situasi ini. Beberapa poin upaya paksa disebutnya sudah dikecualikan untuk KPK. Namun, kepastian harus ditegaskan dalam batang tubuh aturan, bukan hanya di ruang negosiasi rapat terbatas.
“Kami melihat ada potensi yang bisa berpengaruh pada kewenangan, bahkan mengurangi tugas pokok dan fungsi KPK,” ujar Setyo menegaskan kekhawatiran lembaganya.
KPK berharap para pemangku kepentingan di Senayan dan istana mendengar suara ini, sebelum palu sidang diketok. Bagi KPK, menjaga semangat pemberantasan korupsi sama artinya menjaga harapan rakyat agar hukum tetap jadi panglima, bukan sekadar teks di kertas usang.
