Negeriku kini, entah sejak kapan, terasa seperti negeri dongeng. Asik diceritakan, tak nikmat dijalani. Rakyatnya dijejali janji manis penuh gula retorika, tetapi pahit dalam realisasi. Di setiap sudut kampung, di setiap helai baleho saat kampanye, jargon-jargon sejuk mengudara “Satu Desa Satu Produk Unggulan”, “Rumah Tahfiz Qur’an”, “Pelayanan Kesehatan Gratis dan Prima”.
Namun apa daya, di umur kepemimpinan yang sudah melewati empat bulan, apa yang rakyat dapat?Hanya sisa janji yang pelan-pelan busuk, berbau busuk di ujung lorong harapan. Mari kita buka lembar Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi tertinggi negeri ini, fondasi di mana para pejabat menancapkan sumpah.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menjamin, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lalu Pasal 28F memperkuat, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.” Juga Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…”
Namun di bumi yang katanya menjunjung Pancasila ini, kebebasan itu terasa semu, karena yang mengkritik diintai, yang bersuara dibungkam. Konon, para pejabat mulai alergi pada kontrol sosial alergi pada kritik yang justru menyehatkan nalar demokrasi.
Janji politik bukan barang mainan. Janji adalah utang moral, utang konstitusional. Dalam perspektif etika adat pun, sumpah serapah di depan publik bukan sekadar formalitas. Dalam hukum adat di banyak wilayah Nusantara, janji yang diucapkan di depan saksi publik, terlebih di hadapan leluhur, adalah perjanjian sakral.
Mengingkarinya sama dengan mengundang sanksi sosial hilangnya kehormatan, hancurnya marwah. Bukankah di berbagai budaya kita diajarkan, adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah? Maka bagaimana bisa seorang pemimpin main-main dengan kata-kata, padahal kata adalah harga diri?
Lihat janji “Satu Desa Satu Produk Unggulan”. Kampanye menjual mimpi, seolah di setiap pelosok akan tumbuh UMKM tangguh. Nyatanya, jangankan produk unggulan, rencana kerjanya saja kabur. Tak ada pelatihan, tak ada pendampingan usaha, tak ada anggaran yang jelas. Yang ada hanya rapat-rapat formalitas, selebaran berdebu di rak kantor desa. Sedang di bawah, warga bertahan hidup menjual tenaga murah jadi buruh di kebun orang, atau pergi merantau.
Lalu “Rumah Tahfiz Qur’an”.Digadang-gadang di setiap kelurahan, dusun, RT, akan ada tempat belajar baca Qur’an gratis. Sebagai benteng moral agar generasi muda tak buta aksara suci.
Namun sampai detik ini, rumah tahfiz hanya hidup di spanduk kampanye. Yang nyata justru ironi, para orang tua terpaksa merogoh kocek membayar guru ngaji pribadi, atau mengantar anak ke pesantren luar daerah. Sementara rumah tahfiz di tanah sendiri, hanyalah janji kosong yang didendangkan saat perlu suara.
Dan bagaimana dengan pelayanan kesehatan? Suara kampanye menjerit lantang APBD difokuskan untuk kesehatan rakyat! Puskesmas buka 24 jam, obat gratis, dokter sigap. Namun faktanya, antrean panjang di lorong-lorong Puskesmas masih menghantui.
Obat sering habis, tenaga medis sering cuti bergilir, sarana prasarana tak sebanding dengan jumlah pasien. Jangankan pelayanan prima, yang ada pelayanan seadanya. Jika sakit serius, rakyat tetap harus menempuh kilometer jauhnya ke rumah sakit besar itupun harus menyiapkan biaya sendiri.
Di mana letak kepekaan pejabat? Apa arti janji manis kalau lidah pemimpin kelu saat rakyat menagih? Apa gunanya visi-misi yang tertera di dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), kalau realisasi di lapangan bagai pungguk merindukan bulan?Jangan lupa, dalam kerangka hukum positif, setiap janji kampanye melekat erat dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Artinya, penguasa terikat hukum tak ada ruang bagi sewenang-wenang.
Lebih memprihatinkan lagi, mulai berhembus kabar pembungkaman. Para pembantu kepala daerah kepala OPD, staf ahli, camat, lurah justru jadi pagar betis yang membentengi pemimpin dari kritik. Alih-alih merangkul kontrol sosial, mereka pasang tameng, tebar intimidasi. Media massa yang vokal dilabeli pembuat gaduh. LSM yang bersuara dianggap cari sensasi. Mahasiswa yang turun ke jalan disematkan cap pengganggu stabilitas. Padahal stabilitas semu justru lahir dari pembungkam kritik dan sejarah membuktikan, rezim semacam ini pasti rapuh, tinggal menunggu waktu ambruk.
Hukum adat Nusantara sejak dulu mengenal musyawarah. Pakar hukum adat Prof. Soepomo pernah menekankan, adat Indonesia menempatkan gotong royong, keterbukaan, dan tanggung jawab bersama sebagai roh pengelolaan masyarakat.
Jika pejabat menutup pintu kritik, menutup ruang musyawarah, maka sama saja mencabut akar jati diri bangsa. Sementara hukum negara pun tegas: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mewajibkan badan publik membuka akses informasi termasuk janji kampanye, realisasi anggaran, dan capaian program.
Siapa yang menutup informasi berarti melanggar undang-undang. Cukuplah rakyat dibodohi dengan retorika pencitraan. Era digital membuat rakyat melek informasi. Satu kegagalan akan cepat jadi bola salju di media sosial.
Tak butuh waktu lama untuk nama pejabat viral bukan karena prestasi, tapi ironi. Nama daerah pun melambung ke tingkat nasional bukan karena harum, tapi karena aib. Korupsi, konflik kepentingan, pemborosan anggaran, tumpukan janji busuk. Bukankah lebih mulia jika pejabat mendengar suara sumbang, mengundang para pengkritik, duduk semeja, lalu mencari solusi?
Hendaknya para pejabat paham hukum alam: tak ada asap tanpa api, tak ada perbuatan tanpa konsekuensi. Rakyat memang sabar tapi sabar bukan berarti bungkam selamanya. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah cambuk yang sah. Kritik adalah vitamin bagi penguasa, bukan racun. Jika pejabat alergi kritik, maka tunggulah: masa jabatan boleh panjang, tetapi waktu akan memanggilnya pulang ke pengadilan publik.
Jangan mimpi jadi teladan jika lidah tak setia pada kata-kata. Janji politik bukan naskah drama. Rumah Tahfiz Qur’an bukan sekadar poster. Produk unggulan desa bukan sekadar slogan di spanduk. Pelayanan kesehatan bukan cuma retorika debat publik. Rakyat tak butuh orasi, rakyat butuh aksi.
Maka, wahai pejabat, sadarlah: rakyat menuntut bukti. Jangan lagi alergi dengan LSM, ormas, mahasiswa, pers. Jangan jadikan ruang kritik sebagai musuh. Undang mereka, dengarkan suara mereka, jadikan masukan. Kalau janji sulit terealisasi, katakan jujur, bukan malah membungkam. Kalau anggaran kurang, buka data, minta rakyat mengerti, libatkan mereka merumuskan solusi. Demokrasi hidup dari partisipasi. Pejabat hebat lahir dari keberanian berdebat, bukan dari kebiasaan membungkam.
Negeriku bukan dongeng. Ia nyata, berpenduduk puluhan juta jiwa yang punya hak hidup layak, hak bersuara, hak dilayani.Pejabat dipilih untuk melayani, bukan untuk dinina-bobokan pujian palsu.Mereka digaji dari keringat rakyat, bukan untuk tidur di kursi empuk sambil menertawakan janji yang basi.Sebagai anak bangsa, penulis menulis opini ini bukan untuk membenci, tetapi untuk mengingatkan.Bahwa negeri ini dibangun di atas semangat musyawarah mufakat, bukan bungkam-bungkaman.
Waktu akan menjawab semuanya. Dan sejarah tidak pernah tidur. Karena setiap kata yang tak ditepati, setiap janji yang diingkari, setiap suara yang dibungkam akan hidup sebagai jejak digital, terekam di hati rakyat.Dan di hari pemilihan berikutnya, kertas suara akan jadi senjata paling sunyi namun paling mematikan.
Hidup kritik! Hidup rakyat! Artikel Opini: ditulis Selasa malam Rabu: 16/07/2025. 00:41
