Saat Meritokrasi Dilanggar dan Kontrol Sosial Diabaikan

Saat Meritokrasi Dilanggar dan Kontrol Sosial Diabaikan

Opini
Spread the love

Dalam pusaran dinamika birokrasi dan pembangunan daerah, publik kembali dihadapkan pada realita pahit, gagasan ideal kerap terjegal di meja pelaksana. Kepala Daerah misalnya, telah menggagas meritokrasi, suatu konsep menempatkan orang pada jabatan sesuai kompetensi. Namun fakta di lapangan, sebagaimana diulas dibeberapa media massa menunjukkan bahwa semangat ini sering “dikangkangi” oleh perilaku bawahan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan rakyat.

Kasus-kasus mutakhir membuka mata betapa absennya rasa takut di hadapan kebijakan hukum dan pengawasan publik. Salah satu media massa menyorot bagaimana aktor-aktor di lapangan seolah tak peduli pada aturan main, bertindak sesuka hati, bahkan menantang risiko jerat hukum seolah hukum sekadar slogan di spanduk kampanye.

Potret buram juga terlihat pada pembangunan infrastruktur. Berbagai media massa menyoroti proyek drainase senilai hampir Rp 1 miliar yang diduga terbengkalai usai viral. Warga kecewa, publik menggantungkan harapan pada Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun tangan melakukan audit menyeluruh. Namun sayang, harapan semacam ini kadang berujung angin lalu bila kontrol sosial lemah dan suara kritis dimatikan dengan berbagai cara.

Lebih jauh lagi, media massa lainnya menuliskan dugaan penggunaan alat berat yang tidak sesuai standar pada proyek jalan senilai Rp 13 miliar di salah satu desa. Masyarakat mulai resah karena standar kerja diabaikan, kualitas jalan dipertanyakan, dan lagi-lagi tanggung jawab dilempar ke sana-sini tanpa solusi konkret.

Semua potret itu adalah alarm. Bahwa kebijakan seideal apapun akan lumpuh bila tidak diiringi budaya integritas di level pelaksana. Meritokrasi hanya akan jadi jargon manis bila tidak dibarengi ketegasan sang pemimpin dan kekuatan kontrol sosial di masyarakat.

Kesimpulannya, rangkaian fakta ini menggambarkan bahwa kebijakan tanpa pengawasan yang sehat hanyalah kertas kosong. Sementara kontrol sosial yang “sakit” karena diintimidasi, dibungkam, atau dilemahkan akan membuka ruang lebar bagi praktik kolusi, pembiaran, bahkan korupsi terstruktur.

Sudah waktunya menciptakan harmonisasi antara kebijakan, pelaksana, dan masyarakat. Pemimpin daerah harus berani menindak bawahan yang mengkhianati gagasan. ASN dan pejabat teknis wajib dikembalikan pada jalur meritokrasi, bukan pada patronase kepentingan. Sedangkan kontrol sosial lembaga pengawas, media, aktivis, hingga masyarakat wajib diberi ruang yang sehat, bukan dipersekusi.

Prediksi risikonya, bila kontrol sosial yang menjadi penyeimbang dibiarkan sakit dan mati suri, maka praktik curang akan makin merajalela. Proyek infrastruktur bisa terus amburadul, uang rakyat jadi ladang bancakan, dan kepercayaan publik pada pemerintah akan ambruk pelan-pelan. Jika itu terjadi, bukan hanya pembangunan fisik yang mandek, tapi juga mental warga akan terbiasa hidup di tengah ketidakpastian dan ketidakadilan.

Sebagai penutup, mari kita rawat kontrol sosial agar tetap kritis, berdaya, dan merdeka. Karena hanya dengan pengawasan sehat, kebijakan yang baik bisa bersemi di bumi pertiwi.

Artikel Opini: ES, Selasa 15/07/2025. 13:51 WIB.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *