Ketika Pena Menjadi Lentera Kehidupan

Ketika Pena Menjadi Lentera Kehidupan

Dunia Pers
Spread the love

Di suatu senja, di balik kaca jendela ruang redaksi yang berdebu kata-kata, seorang pemuda duduk mematung di depan laptop tuanya. Namanya Harsa, nama yang dihadiahkan ayahnya berarti bahagia. Namun di balik senyum dan gelak tawa, Harsa tahu bahagia bukan hanya untuk ditulis, tapi diperjuangkan dengan tinta kebenaran.

Ia pernah ragu. Pernah ingin berhenti. Dunia jurnalisme baginya tak semanis slogan kebebasan pers yang sering digembar-gemborkan. Ia pernah diancam, dilecehkan, bahkan dituduh menulis fitnah hanya karena mengabarkan kenyataan yang tak nyaman untuk sebagian orang berkuasa.

Tetapi setiap kata yang ia ketik, setiap foto yang ia abadikan, selalu berbisik lirih di telinganya: “Bukankah kebenaran layak diperjuangkan meski harus dibayar luka?”Harsa ingat betul masa awal menapaki profesi ini.

Penghasilan di dunia jurnalistik tak seberapa, bahkan sering habis untuk membeli kopi dan bensin motor tua demi mengejar narasumber. Namun setiap kali melihat namanya tercetak di pojok kolom di sana, di antara deret paragraf ada rasa bangga yang tak bisa dibeli oleh jabatan atau tahta.

Menjadi jurnalis profesional bukan hanya tentang menulis. Bukan pula sekadar bertanya dan merekam suara. Menjadi jurnalis adalah menajamkan hati, meruncingkan nurani, merangkai fakta dengan etika, menyalakan lentera bagi mereka yang terjebak dalam lorong gelap manipulasi informasi.

Suatu malam, Harsa duduk di pinggir jalan, menatap lampu kota yang redup. Ia merapikan rekaman wawancara dengan seorang buruh yang dipecat tanpa pesangon. Tangannya menggigil menahan geram, matanya basah. Ia sadar, inilah panggilan sejatinya, menjadi suara bagi yang dibungkam, menjadi saksi bagi yang diabaikan.

Ia paham, di era digital, jurnalis diuji dengan badai hoaks, dibanjiri buzzer, diterjang clickbait murahan. Namun baginya, profesi ini bukan sekadar ladang penghasilan. Ini medan suci perlawanan batin, di mana integritas lebih berharga daripada tepuk tangan semu.

Dan di penghujung malam, ketika deru mesin cetak mengantar berita ke pagi hari, Harsa selalu menutup matanya sejenak, berdoa agar tulisannya bukan sekadar kata-kata mati, tetapi bara yang menghidupkan harapan.

Di sana, di balik headline dan breaking news, ia titipkan sepotong jiwanya untuk pembaca yang barangkali tak pernah tahu betapa berdarahnya sebuah berita lahir.Dan begitulah, Harsa menua bersama kata-kata, menua bersama kejujuran yang kadang mahal harganya, menua bersama sumpahnya: “Jurnalis profesional bukan hanya penulis, tetapi pejuang kebenaran.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *